Langsung ke konten utama

Manusia tak pernah mengenal sempurna

Hujan turun dikota bandung hari ini, air hujan turun dari cakrawala lalu membasahi apapun yang ada dibawahnya, air hujan memang tak pernah pilih kasih, air hujan yang turun secara perlahan turut membasahi aspal aspal hitam yang menghampar di kota bandung. Tak lain seperti jalan veteran ini, Aku berada di sudut kedai kopi dijalan veteran ketika hujan tengah mengamuk kota ini.

"Mas ini kopinya" kata seorang pelayan perempuan ramah padaku.

"Eh iya" kataku sambil tersenyum.

Pelayan itu lalu menaruh 2 cangkir kopi hangat di atas meja yang ada didepanku, aku tak benar benar terlalu menghiraukan pelayan tadi sehingga aku tak sadar bahwa pelayan tadi telah pergi dari mejaku, meninggalkan 2 cangkir kopi hangat yang siap dinikmati.
Pikiranku mengawang hari itu, terlebih setelah seorang pria melakukan tindakan yang tak menyenangkan padaku pagi itu.  Katanya aku orang bodoh, miskin, tak pantas hidup di dunia ini, kira kira begitulah katanya angkuh. Aku bingung darimana ia mendapat penilaian seperti itu, sehingga ia merasa lebih superior daripada aku, Padahal sejatinya Ia justru tak bisa melihat kekurangan dirinya sendiri, dan kupikir itu juga termasuk sebuah kekurangan.

Tak lama Seorang wanita membuyarkan lamunanku. Wanita itu berlari lari kecil keluar dari bus kota lalu masuk ke dalam kedai kopi ini, Ia lantas melihat keadaan didalam kedai, lalu perempuan itu menghampiriku dan duduk tepat didepanku. Ia menaruh tasnya lalu melepas jaketnya yang basah terkena air hujan tadi.

"Udah lama nunggu?"
"Belum" jawabku singkat.

Wanita itu memandangi sorot mataku yang kosong, tak bisa kupungkiri bahwa aku tak bisa menyembunyikan pandangan mataku yang kosong karena memikirkan perkataan pria tadi, bahkan mungkin saja wanita ini sudah mengetahui bahwa aku sedang tak tenang di hari ini.

"Hei kenapa?, ada yang salah?"

"Tidak"

"Kamu nampak linglung hari ini, apa kamu memikirkan sesuatu?"

"Kurasa tidak" kataku mencoba menyembunyikan pikiranku yang kalut ditengah derasnya hujan yang membasahi jalan veteran hari ini.

"Tak usah berbohong" katanya mulai marah, jujur saja aku pasti tahu bahwa manusia tak suka dibohongi, apalagi wanita seperti dia.

Harus diakui bahwa dia lebih berada daripada diriku, ayahnya seorang hakim dikota ini, ibunya juga seorang dosen di sebuah universitas dikota ini, sangat berlainan denganku yang lahir dari keluarga sederhana yang hanya bekerja alakadarnya di sebuah perusahaan dan mendapat gaji yang sangat kecil, sulit dipercaya bahwa wanita seperti dia justru memilih lelaki seperti diriku untuk ia cintai.

Aku mengalihkan pandangku dari luar jendela, kutatap matanya yang memberikan rasa nyaman yang sekirannya mampu membuatku bertahan bersamanya sampai sekarang.

"Aku tak tahu ukuran seseorang dalam menilai orang lain"

"Apa kamu membicarakan mereka yang selalu merendahkanmu?"

Aku mengangguk, tangannya lalu memegang tanganku yang tergeletak dimeja kedai itu.

"Dengar, orang tak pernah bisa menghargai perasaan orang lain, sebelum perasaan dia sendiri yang disakiti orang lain" katanya tenang, sembari memegang jemariku yang mulai dingin terkena udara dingin kota Bandung hari itu.

"Bersabarlah, orang lemah tak selamanya ada dibawah, ada saatnya mereka yang kuat akan mengakui ketangguhanmu, ini cuma soal waktu. Tuhan sangat menyayangi hambanya jadi mana mungkin dia bisa diam saja ketika dia mendengar hambanya di hina oleh orang lain" sambungnya mencoba meyakinkanku.

Dia meminum secangkir kopi yang disediakan pelayan tadi, lalu diamatinya keadaan diluar kedai dari jendela yang ada tepat disampingnya. Hujan mulai reda saat ia sudah menenggak habis secangkir kopinya tadi.

"Pulang yuk"
"Aku nggak bawa motor"
Kataku dengan nada menyesal.

Sekali lagi dia menghela nafas, mencoba memaklumi keadaan hatiku yang masih berantakan hari itu. Dia tak marah, mungkin dia tahu bahwa dia juga marah malah justru akan membuat hariku semakin buruk.

"Kita jalan bareng aja"
"Yakin?"
"Iya"

Maka segera kami bergegas meninggalkan kedai itu setelah aku membayar lunas 2 cangkir kopi tadi. Sementara itu dia berdiri diteras kedai itu, tangannya menengadah menyentuh sisa rintik rintik hujan yang masih bersedia turun dari atap kedai ini.

"Ngapain sih?"
"Gapapa, cuma pengen ngerasain hujan aja, coba deh enak loh"

"Enggak, kayak anak kecil aja"

"Eh gpp coba aja, coba rasain seluruh rasa kesal kamu luntur bersama hujan yang turun dari langit hari ini"

"Emang bisa?" Tanyaku

"Enggak juga sih" jawabnya lalu tertawa terbahak bahak.

Kami berdua berjalan pulang, pertama aku mengantarnya pulang terlebih dahulu, baru aku pulang ke rumahku sendiri. Ditengah perjalanan kami, kami melihat seorang pemulung berpakain compang camping lengkap dengan kantong yang di gendong dipunggungnya.

"Berhenti, coba lihat pria itu" katanya menunjuk ke seorang pemulung tadi.

"Kamu miskin, tapi kamu beruntung karena kamu tak perlu berkutat dengan sampah hanya untuk mendapat sesuap nasi, tuhan masih sayang padamu sehingga ia masih memberimu sedikit kekayaan agar kamu bisa mengenyangkan perutmu setiap hari tanpa harus mengorek ngorek tempat sampah" jelasnya lalu pergi meninggalkan pemulung tadi.

Selanjutnya kami bertemu dengan seorang pria berjas, dan sepatu pantofel yang mengkilap. Ia didampingi oleh seorang ajudan yang memegangkan sebuah payung untuknya. Sementara disebelahnya terdapay seorang pria tua berseragam tukang parkir tertunduk lesu, mungkin ia sedang dimarahi oleh pria tadi. Berulang kali sang pria menunjuk ke bemper mobilnya yang sedikit lecet, mungkin saja pria tukang parkir tadi salah memarkirkan mobil orang yang berjas tadi, sehingga mobil mewah orang tersebut harus lecet dibagian bempernya.

"Kamu lihat orang berjas itu? Bukankah dia menampakan orang yang berilmu dan bermateri?"

Aku mengangguk

"Kamu memang tak seberuntung dia, punya banyak titel dibelakang namanya dan punya banyak kendaraan yang bisa dikendarai setiap hari, tapi kamu juga beruntung karena kamu memiliki hati yang mulia daripada orang itu, ingat nurani tak bisa dibeli dengan apapun". Katanya sambil meninggalkan orang orang tadi.

Lagi, ditengah perjalanan pulang kami kami bertemu dengan seorang pengemis, pakaiannya sangat lusuh dan basah, wajahnya pun sangat kotor, nampaknya orang itu jarang sekali mandi. Nampak pula seekor kucing kecil nan kurus berdiri disamping pengemis tadi, kucing itu terus mengeong kelaparan membuat orang lain iba dengan keadaannya. Segera pengemis tadi membuka sebuah kotak makanan yang ia taruh dibalik baju basahnya. Ia buka kotak makanan itu sedikit lalu mengambil beberapa makanan, setelahnya ia menyuapkan makanan itu pada kucing yang mengeong kelaparan tadi.

Melihat kejadian tersebut dia pun menghentikan langkahku,

"Apa kau juga melihat pengemis lusuh itu?" Tanyanya padaku sekali lagi.
"Kita harus belajar darinya, bahwa tidak semua orang dapat dinilai dari tampilan luarnya, apa kau pikir pria berjas tadi akan perduli dengan kucing kelaparan itu seperti apa yang pengemis itu lakukan?, aku yakin tidak. Jika sesama manusia saja dia tak punya empati apalagi kepada kucing kecil itu?. Mereka yang terkadang hidup berkekurangan justru mengerti penderitaan orang lain dibanding mereka yang berdasi, itu yang membuat orang miskin lebih menpunyai hati yang tulus ketimbang mereka orang yang kaya" ia kembali menjelaskan dengan hangat, berusaha membuatku mengerti bahwa aku harus mensyukuri apa yang ada pada diriku sekarang, rasanya aku tak salah karena mencintai seorang wanita seperti dia.

Aku tersenyum mendengar penjelasannya, semua yang katakan memang benar adanya aku jadi bisa meninjau ulang pikiranku sendiri bahwa aku sesungguhnya bukan orang yang paling hina dimuka bumi ini.

Kugengam tangannya yang mulai mengkerut karena terkena air hujan, tapi itu tak masalah bagiku.

"Terima kasih telah membuatku mensyukuri diriku sendiri"

"Tidak, yang membuatmu mensyukuri dirimu sendiri adalah hatimu sendiri, aku hanya melihatkan apa yang kamu miliki dan apa yang tidak dimiliki orang lain terhadapmu, kamu tidak sempurna, tapi semua kelebihanmu yang membuatmu sempurna di hadapanku, kamu bisa belajar pada hari ini bukan? Kamu bukan orang terhina di muka bumi karena sejujurnya semua manusia sama dimata tuhan, semua manusia selalu punya bangian yang tak dipunyai oleh orang lain dan itu juga terjadi sama kamu"

Kita saling tersenyum, dan sekali lagi benar seperti yang dia katakan, semua orang tak punya kesempatan untuk menjadi sempurna, tapi setiap orang selalu punya kesempatan yang bisa membuatnya lebih daripada orang lain. Kesempurnaan tak berlaku bagi manusia, kesempurnaan hanya berlaku bagi tuhan yang berkuasa diatas segalanya, benar bukan?.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Afterlife

  “Tidak… dia nampaknya tak akan bertahan lebih lama lagi.” “Aku harap ini adalah moment-moment terbaik di sisa hidupnya.” Suara berisik itu terus bersahut-sahutan diruangan tersebut. Akiong yang sudah lama di terpa oleh penyakit lansia kini telah sampai pada kekalahan atas pertarungan hidupnya selama ini. Dunia perlahan memudar dari kedua matanya. “Mungkinkah ini saatnya?” tanya Akiong dalam hati. “ah memang saat inilah waktunya.” Pungkasnya lagi kemudian disambut dengan gelap yang perlahan mulai menjalari penglihatannya. Tiiiitttt……… detector jantung menyala, meniupkan bunyi Panjang yang akhirnya mensunyikan ruangan tersebut. Semua Nampak tak percaya dan setengahnya telah menduga, beberapa orang diruangan tersebut saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya memeluk Akiong dengan isak tangis perpisahan.       ****** “ Ah dimana aku ini?” Tanya Akiong kaget, terbangun dari tidurnya. Matanya memutar sejenak, dipandanginya sekeliling ...

Yang akan terjadi pada kehidupan umat manusia di masa depan

  Masa depan adalah suatu periode waktu dengan berjuta ketidak pastian, kadangkala ia akan bersifat baik ataupun malah sebaliknya. Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan oleh umat manusia hanyalah pada sebatas prediksi dengan probabilita kemunkinan terjadi yang sangat terbatas. Bisa aja hal itu meleset, namun bisa saja menjadi benar. Selain itu, ke akuratan dari prediksi tergantung dari sudut pandang dan persepsi orang lain pula. Kadang ke jelasan kalimat yang tidak utuh akhirnya menghasilkan sesuatu yang terlalu ambigu atau mempunyai dua makna yang bisa diartikan secara multilinier. Sehingga pada akhirnya kebenaran dari masa depan terkesan dirangkul dengan satu kalimat tanpa penjelasan terperinci.   Adapun masa depan adalah sebuah periode yang tidak menemui kepastian, namun bisa saya Tarik prediksi bahwa beberapa hal yang saya cantumkan mungkin bisa jadi hal yang akan terjadi di masa depan, walaupun tidak 100% benar, ataupun bisa 100 % salah, namun hendaknya semua perk...

Yuda dan Wulan

  Suatu hari disuatu sudut sekolah di pertengahan tahun 2018. Di sudut kelas ips 3, yuda seorang siswa setengah jangkung itu berdiri bersandar pada tembok kelas tersebut. Matanya untuk sekejap mengudara mengitari sudut sekolah yang mulai sepi. Hal ini karena angkatannya telah meninggalkan sekolah, dan hanya tersiksa adik-adik kelasnya yang masih berada di dalam kelas. Perbedaan kurikulumlah yang mengakibatkan hal ini bisa terjadi. “Baiklah anak-anak, sepertinya ada yang sedang menunggu kalian diluaran sana.” Kata Bu eko datang dari dalam kelas. Yuda yang sedari tadi melongok dari jendela tiba-tiba menunduk setelah seisi kelas mengalihkan pandangannya ke arah yuda. “Sialan. Bu eko kalau jail emang suka kebangetan.” Gerutunya. “Hei wulan, pangeran yuda sudah siap menjumputmu.” Kata salah satu anak mengejek. Wulan tersenyum sinis, perasaan malu dan senang itu bertarung hebat di dadanya. “Hei yuda, sedang menunggu siapa kamu disana?” Tanya bu eko seolah memulai interoga...