Gue nggak tau harus nulis apa sih sejujurnya, tapi gue rasa gue butuh nyeritain sesuatu yang memenuhi kepala gue selama beberapa hari ini. Gue nggak pinter ngungkapin perasaan lewat lisan, terlebih karena gue sendiri punya perasaan datar yang berkepanjangan, jadi kebanyakan bakal menggantung kalau diceritain. So I choose this method because I think this is perfect way to explain what was happens in few days back.
Gue gak tau harus mulai darimana, mungkin gue bicara ke hal paling basic, yaitu apalagi kalau bukan tujuan hidup.
Satu kata yang terus gue cari selama ini. Beberapa orang bilang bahwa hal itu simple, kayak lo harus membahagiakan orang tua lo, lo harus kaya atau semacamnya. Tapi bagi beberapa orang, itu masih menjadi misteri yang susah dijawab, dan salah satu orang itu adalah gue.
Mungkin saat lo bertanya tentang tujuan hidup gue sekarang, mungkin hanya sekedar “Gue pengen punya banyak uang, gue pengen menikahi dia disuatu hari nanti, we will have a cute baby, and we gonna be a happiest family ever.” But kadang itu terlalu dangkal menurut gue. Gue sedikit iri dengan orang yang bisa bilang “Gue akan ngelanjutin usaha bokap, atau gue bakal bikin usaha ini-itu.” Sesuatu yang gue gak punyai selama ini. Hidup kadang gak tertebak, kayak gue yang dulu benci banget sama dunia perkayuan dan gue malah sekarang harus bekerja dibidang ini, bukannya tidak bersyukur, tapi lebih ke merasa menjilat ludah sendiri gitu.
At least, ortu gue selalu punya cara tersendiri buat nyenengin diri dia sendiri. Bukan berarti gue gak punya niat buat nyenengin mereka, but you know I think they’re happy for now lewat cara-cara kecil gue kayak nyeritain sosok Putri itu kayak apa, ngeliat gue mandiri dengan apa yang gue pilih, dengan bagaimana gue bisa bertanggung jawab dengan hidup gue sendiri, merasa udah lebih dari cukup soal itu. Standarisasi mereka soal Bahagia bukan soal materi, mobil? motor? Rumah gedongan? Mereka gak pernah sampai mikirin kesana. Jadi seringnya gue bingung mau nyenengin mereka dengan cara apalagi.
Materi? Gue sedang berencana renov rumah sih. Gue emang beberapa minggu sakit kepala mikirin ni rencana. Ya gimana ya, gue merasa bakal ngajak anak orang buat nempatin rumah ini, seorang Wanita yang udah di besarin susah payah sama orang tuanya gak mungkin gue ajak ke tempat yang gak nyaman, even nggak senyaman rumah keluarganya pasti, but I think ini adalah sebuah keharusan. Gue juga sempet liat harga beberapa mobil bekas, karena menurut gue agak repot juga kalau kemana-mana harus bawa banyak motor. Tapi itu bukan sebuah keharusan juga, sedikit intermezzo begitulah.
Karir. Walaupun gue bisa bilang kalau gue nyaman sekarang, tapi kadang gue merasa kalau sedang terjebak di zona nyaman. Gue kenal banyak orang baik disini, gue cukup seneng jadi orang yang dikenal banyak orang di tempat kerja, tapi kadang gue merasa masih ada yang kurang, gue sempet nyari loker-loker diluar daerah sih, tapi semenjak I’m in relationship, gue merasa satu hal perlu dipertimbangkan lagi, karena gue juga gak mau ngorbanin dia, bagaimanapun itu, gue merasa putri masih jadi salah satu hal penting di hidup gue dan mungkin akan selalu begitu. Gue juga sempet mencoba menulis buku lagi, tapi rasanya sulit banget. Nulis itu butuh perasaan yang dalem, dan menyadari bahwa gue terjebak di suatu perasaan yang berkepanjangan, membuat gue gak punya emosi yang kuat buat nyeritain hal itu. Gue bukan seorang Ando atau Yuda beberapa tahun yang lalu yang punya emosi kuat, bahkan bisa nulis sehari satu bab, sedangkan sekarang satu halaman aja gue ngerjainnya setengah mati. Dan mungkin gue juga sedikit muak dengan buku gue yang terakhir karena hal yang jadi harapan itu entah mengapa pupus di terjang realita, sesuatu yang bikin gue mikir kalau buku hanyalah sebuah karya tulis biasa yang mungkin bakal berdebu di rak perpustakaan. Gak semua orang bakal mengerti soal itu, jadi gue berhenti untuk menganggap itu sebagai sesuatu yang berharga.
Gue merasa ini bakal jadi chapter terakhir cerita gue. Sebab gue bakal membahas soal percintaan gue. Gue nggak tau apakah gue harus menyensor nama dia demi kepentingan kepenulisan atau nggak. Atau mungkin nggak terlalu perduli malah soal itu.
Putri, itu cara gue manggil dia, nggak konsisten juga, kadang pandu, kadang juga tiwi, semood-mood gue lah.
Honestly, menurut gue orang yang unik. Bahkan pertemuan kitapun unik, dari rekan pesbuk, berlanjut bahas hal-hal serius sampe sekarang we both in the relationship now. Sesuatu yang gak biasa menurut gue. Dan ini serius bukan karena gue yakin dia bakal baca tentang ini, but I think this is most honest word can I say to her. First impression gue mungkin dia kayak cewek-cewek pesbuk biasa yang di kerubuti banyak cowok tapi cenderung deket sama sirkelnya doang, tapi ternayata nggak juga. Dia friendly, kebalikan dari gue yang emang friendly tapi cenderung formalitas doang, lebih ke biar dianggap gak sombong doang, but feel nothing inside. Entah kenapa dia tuh kayak partner dari segala sisi hal yang gak bisa gue atasin dan dia ngisi hal itu, jadi kek sidekick kalau di film superhero macam batman sama robin.
Tapi se care apapun gue, selalu punya ketakutan kalau gue itu To bored for being a boyfriend. Dan gue udah cerita soal ini, even dia bisa memaklumi itu, tapi tetep aja hal itu jadi satu ketakutan tersendiri, karena gue takut hal yang gue lakukan sekarang berakhir tanpa hasil apapun. Gue bermasalah dengan sisi datar gue tapi bukan berarti gue nggak sayang dia. Dia selalu ada di suatu ruang dimana gue nggak bisa mendiskripsikan hal itu. Gue cuma sekumpulan parade traumatic masa lalu tanpa dia, karena dengan dia gue bisa ngeliat kedepan. Gue nggak menangisi masa lalu sma gue yang berwarna lagi, gue nggak menangisi kisah cinta masa lalu gue lagi, entah bagaimana caranya dia bisa bikin gue merasa beruntung jadi pemenang di hati dia.
But, there’s something I Can’t Explain to her. Kadang gue merasa udah pergi telalu jauh atau malah gue udah jatuh terlalu dalam. Gue sangat sering merindukan diri lama gue, diri yang bisa senang dengan hal-hal sederhana dan punya banyak harapan. Ok, gue seneng bahwa diri gue sekarang berani berjuang buat mempertahankan hubungan, tapi kadang gue merasa terjebak di dua dunia. Gue merasa seperti disurga ketika gue bareng dia, seolah semua sisi otak gue terpenuhi soal dia seolah gue berada di hamparan taman penuh bunga, all of her is awesome. But other side, gue merasa dunia gue terlalu hitam dan putih saat gue sendirian. Gue terasa terjebak di suatu ruangan gelap dan hanya putri yang jadi lilin di tengah ruangan tersebut.I think I will crying because finally I can explain to you how it feels. Gue tahu dia punya beberapa alasan mengapa dia nggak bisa 100% ada buat gue dan gue memaklumi itu karena kita memang sudah dewasa sekarang, kita nggak bisa jadi bayi yang merengek di setiap harinya. Gue juga malah merasa bersalah karena membuat dia seperti seseorang yang gue temukan karena gue merasa kesepian, padahal sejatinya, pertemuan kita adalah proses alam dan gue suka karena, hal-hal uniknya, gue sayang dia dan gue pengen jadi sesuatu yang special buat dia. Gue bahkan sempet bilang bahwa gue nggak bisa mengidentifikasi Bahagia secara jelas sekarang, gue gak tau tempat yang pengen gue kunjungi, gue nggak tau apa yang harus gue lakuin supaya senang karena semuanya terlalu biasa saja untuk dilakukan. Satu-satunya hal yang bikin gue Bahagia adalah when we both spend our time together. Gue juga nggak tau siapa gue yang sebenernya, karena perjalanan hidup menuntut gue untuk selalu belajar dari setiap kesalahan yang gue buat, gue terus mengubah apa yang udah jadi kebiasaan gue dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik sampai pada akhirnya gue nggak tau siapa diri gue sebenernya. Dan mungkin ini sekarang memang diri gue sendiri tapi kalau pertanyaanya apakah gue Bahagia dengan diri gue sekarang? Jawabannya, nggak. Sedih? Dikit, lebih tepatnya karena gue sering menangisi kehilangan diri sendiri gue, gue jadi bosan sama hal itu.
Gue nggak merasa kalau hal ini adalah suatu tugas yang harus gue tanggung bareng dia. Gue pengen menanggung hal ini sendirian, gue pengen tahu jawaban ini dengan tangan gue sendiri dan nggak mau ngelibatin dia lebih jauh lagi. Gue Cuma pengen dia jadi seseorang yang memberi gue semangat dan harapan di belakang. Kadang gue pengen bilang maaf ke dia karena dia udah menyayangi mayat yang bernyawa.
Gue selalu pengen hidup secara sederhana kayak harus berdamai dengan diri sendiri, and getting married, or focused with their jobs, kayak temen-temen gue yang lain. Tapi entah mengapa gue selalu ngerasa belum selesai dengan diri gue sendiri.
Gue nggak tau harus nulis apalagi, gue Cuma pengen minta maaf buat banyak orang yang ada di sekeliling gue sekarang.
Komentar
Posting Komentar