Tidak ada cerita konyol hari ini, atau cerita-cerita romantic yang akan anda dapatkan seperti yang saya karang dan ceritakan sebelumnya. Saya menulis hal ini hanya karena saya resah menjadi manusia.
Ya, saya hanya ingin meresahkan bagaimana problematika dan kelakuan manusia dalam kesehariannya menghuni tata surya ciptaan yang maha kuasa ini. Ini memang agak ironis bagaimana saya meresahkan kaum saya sendiri, atau dengan kata lain ketika berita buruknya bahwa saya juga merupakan seorang manusia. Sebagian dari kalian pasti akan mengira saya tidak bersyukur dilahirkan sebagai manusia, atau saya telah menyesal karena dilahirkan sebagai manusia. Tidak sepenuhnya benar, dan juga tidak sepenuhnya salah. Ini tergantung dari bagaimana anda menilai perkataan saya, mengambil sudut pandang dari apa yang saya maksudkan atau Kembali ke kebiasaan sosial kita yaitu tergantung dari bagaimana subjektifitas anda terhadap saya. Penilaian anda tentang saya akan benar-benar terpertaruhkan dalam hal ini.
Pertama, kita akan bicara tentang hal paling dasar dan substansial dari peradaban manusia. Agama, sebagai suatu simbolik dan identitas bagaimana kita mengabdi dan menyadari posisi sebagai hamba dalam kekuasaan ia yang maha kuasa. Kita kesampingkan dulu mereka yang tak mempunyai agama atau Atheis dalam istilah kerennya, sebab mungkin tulisan saya sulit dicerna bagi mereka yang hanya menyadarkan segala sesuatu sebagai kehendak alam, bukan sebagai suatu kehendak yang maha kuasa. Mungkin kalian lebih pantas berkubang di twitter.
Agama dalam perannya berabad-abad yang lalu telah menuntun pada peradaban yang kita kenal sekarang. Contohnya saja, bagaimana Al-khwarizmi mengenalkan kita pada sekumpulan konsep aljabar yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan matematika modern. Ibnu sina yang menjadi tokoh penting dari ilmu kedokteran kita selama ini, cukup membuat anda mengerti bagaimana agama dalam hal ini Islam telah menjadi pendorong bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Mungkin agak berbeda dari bagaimana sekarang agama bekerja sebagai bagian dari politik identitas dalam pemilihan kepala daerah, atau sebagai tameng ketika kita sudah terpojok dan hendak melarikan diri dari suatu masalah. Itu memang yang terjadi pada era ini, tergantung dari bagaimana anda memandang itu sebagai suatu kemajuan atau kemunduran. Tapi kabar buruknya, inilah realitanya dan anda seharusnya sudah mengetahui itu jauh-jauh hari.
Jangan buru-buru menilai saya mencoba keminter atau berusaha menjadi ustadz dadakan. Saya hanya pria yang tidak lulus sekolah madrasah, yang ngajinya berhenti ditengah jalan, yang barangkali ibadahnya tak se khidmat kalian, jadi sangat rendah apabila di adu dengan kepintaran kalian. Saya hanya ingin bersuara menentang sosial kita yang terasa hanya ikut-ikutan tanpa bisa berkaca terlebih dahulu. Saya juga hanya ingin dikenal sebagai Ando Yuda Maulana, hamba Allah yang biasa seperti kalian semua, perbedaan kita hanya pada perbedaan dalam memilih jalan hidup dan cara pandang. Jika anda bertanya konklusi dari tujuan saya, saya hanya ingin benar-benar menghadapkan saya, anda dan kita semua pada satu cermin besar untuk mengetahui siapa kita sebenarnya dan apabila kalian tidak punya kekuatan untuk melihat sosial kita bekerja pada agama, akan saya hempaskan wajah anda ke cermin itu agar anda segera menyadarinya. Jadi anggap saja, saya ingin mengkritik sosial terhadap segala bentuk sosial dalam masyarakat kita yang “Beragama.”
Kekeliruan yang terus dibenarkan adalah bagaimana agama di sesuaikan oleh sosial, bukan bagaimana sosial di sesuaikan pada agama. Sebab agama merupakan ihwal dari bagaimana sosial manusia harus bekerja. Agama memberi kita batasan tegas bagaimana kita harus bertindak. Maka dari itu kita akan mengenal apa itu halal, apa itu haram dan apa itu makruh dan semacamnya bukan? Tapi apa proyeksinya dalam masyarakat sosial kita? Bisakah terealisasi?
Seorang sahabat saya pernah bilang pada saya tentang apa itu subjek sosial pada agama dan seseorang menurutnya.
“Walaupun kita suka mabuk, Sholat kita lancar, kita nggak lupa kodrat kita sebagai manusia.” Celetuknya. Saya mengetahui bahwa ia hanya berniat menolak hakim sosial atas suatu hakikat kepribadian sosial, itu tidak bisa didasarkan pada sebuah penampilan sosial saja menurutnya. Namun hal itu malah memunculkan ambiguitas bagi saya, karena bukannya keduanya merupakan suatu keharusan? Maksud saya, bukankah menghindari mabuk-mabukan dan menjalankan sholat merupakan suatu kewajiban kita sebagai manusia atau hamba tuhan? Bukankah tidak ada ketentuan lebih baik atau buruk dari dua duduk perkara tersebut? Sayapun bertanya balik.
“Bukankah kewajiban menghindari minuman haram (memabukan) merupakan suatu bentuk ibadah juga? Dan itu bukankah juga sebagai bentuk bagaimana kita tidak melupakan tuhan kita?” kata saya menanyai balik.
Ia masih berdiam, saya pun berinisiatif menanyainya lagi.
“bukankah jika prinsip kita begitu malah menjadi ibadah yang “pilih kasih” yang pada akhirnya sama-sama mengerjakan suatu anjuran perkara agama tapi melalaikan yang lainnya?”
Setelah itu tidak saya dapati jawaban yang menerangkan menurut saya, sahabat saya hanya berdiri dan berkata “ Aku harus tidur, besok aku ada acara.” Katanya berlalu meninggalkan saya sendirian di teras rumahnya.
Ini malah menjadikan saya berpikir bahwa secara tidak langsung sosial kita telah berusaha menormalisasikan beberapa hal yang seharusnya sudah dilarang/ dianjurkan oleh agama. Atau dengan kata lain, sosial kita telah menempatkan hierarki pada suatu standar kesalahan manusia yang pada akhirnya sosial kita bisa memaknainya dengan cara menormalisasikan apa yang tidak seharusnya di normalisasikan. Misalnya dari kasus diatas, dimana sosial kita menempatkan melalaikan sholat itu lebih besar dosanya ketimbang mabuk-mabukan padahal secara substansial, semuanya sama, termasuk kedalam dosa yang besar.
BERSAMBUNG KARENA PENULIS KEHILANGAN MOOD UNTUK MENULIS.
Komentar
Posting Komentar