Sudah hal yang lumrah jika anda tahu bahwa isu agama adalah hal tabu bagi saya, apalagi jika anda men
genal saya secara langsung, anda pasti sangat tahu betapa saya menghindari hal berbabu agamis, dan jikalaupun saya terpaksa menghadapi percakapan sejenis saya hanya akan diam lalu menganggukan kepala dengan berkata "iya." Secara singkat.
Ketabuan ini bermula dari ketakutan saya untuk terlihat religius, ketakutan saya bukannya tidak berdasar. Dasar argumentasi saya tentang religiusme adalah saya takut apabila orang orang melihat saya dari sisi agama. Kita ambil contoh, apabila saya dikenal religius oleh masyarakat, maka saya akan terlihat menyatu dengan agama di mata masyarakat, masyarakat akan melihat segala tindak tanduk saya sebagai suatu anjuran yang ada dalam kitab Al-Quran, melupakan fakta bahwa saya tetap seorang hamba yang berlumur dosa dan tak jemu untuk membuat dosa baru. Sifat menyatu ini yang membuat saya harus memikul beban membawa nama agama, bertanggung jawab atas segala reputasi agama saya yang "sempurna." Hal itu lah yang saya tak mampu sanggupi, saya merasa tak mampu memikul beban sebagai pembawa image agama saya, suatu ketakutan apabila saya melakukan kesalahan fatal yang mampu mengubah citra agama saya menjadi buruk.
Masih ingat dalam ingatan kita sebuah kasus viral "babi ngepet" di depok, yang ternyata hanya karangan belaka dari ustad setempat, lalu apakah korelasinya? Oke mari posisikan saya sebagai ustadz tersebut, sebagai penyandang gelar ustadz, pastilah saya sangat dekat dengan image religius, agama dan saya adalah unit yang tak terpisahkan dimata masyarakat, lalu apakah agama saya menyuruh saya untuk membuat sandiwara seperti itu? Jawabannya tidak, itu hanya kelakar saya sebagai manusia biasa, agama saya tak pernah mengajarakan hal semengerikan itu untuk meraih popularitas, semuanya masih berujung pada hal yang sama, sandiwara itu hanya prakarsa hawa nafsu sebagai manusia biasa, lalu terbesitkah betapa berat beban yang harus saya pertanggung jawabkan apabila saya menjadi ustadz tersebut? Betapa beratnya tanggung jawab saya untuk mengeluarkan image agama saya dari kungkuman pemikiran sosial bahwa agama saya eksis hanya untuk menarik popularitas belaka?
Kasus lain, tentang seorang costumer yang datang ke tempat kerja saya minggu lalu, Saya masih ingat betul bapak bapak berjaket hitam itu, memakai masker yang menutupi bibirnya lalu memakai kopiah di kepalanya, keningnya yang hitam membuat saya yakin bahwa keningnya tak pernah jemu membumi di hamparan ubin masjid yang dingin. tapi bukan itu masalahnya, perkataan angkuhnya itu mampu membuat saya berpikir bahwa sebagaimana hebat agama mampu membuat seorang hamba menjadi besar kepala dan arogan, "gaji kalian itu sumbernya dari saya sebagai customer kalian." Katanya dengan nada angkuh, memang outlet sedang dalam keadaan ramai saat itu, saya dan teman teman saya pun sibuk melayani pelanggan sampai kedatangan bapak tadi membuat kami berdiskusi tentang bagaimana pengunaan sebuah alat otomotif, penjelasannya bertulis mandarin, kami bertiga jelas tak mampu membacanya, dan sialnya google lens saya tidak mampu menangkap terjemahannya, segera dia marah kepada kami bertiga mengatakan kami bertiga tidak kompeten. Di otak saya lantas berpikir "mungkin dia lupa bahwa kami juga manusia, yang tidak selalu menguasai semua medan." Namun saya buru buru mengacuhkannya, keangkuhannya semakin senyap bersama raungan motornya yang mulai menjauh. Lalu pada saat pulang hal itu membuat saya berpikir bagaimana seadainya saya yang menjadi bapak itu, dapatkah saya bertanggung jawab atas pemikiran seperti saya tadi? Tentang bagaimana agama mampu membuat orang menjadi angkuh dan arogan? Padahal kita tahu bahwa agama tak pernah mengajarkan hambanya untuk menjadi angkuh seperti itu.
Pada akhirnya saya lebih suka dilihat sebagai manusia biasa, Bukan dari apa agama dan sereligius apa saya, saya takut membuat tuhan saya kecewa berkali kali lipat ketika melihat saya masih gagal untuk menjadi seorang hamba yang taat lalu malah membawa agama yang ia ajarkan menjadi terlihat buruk, agama saya sempurna, yang tidak sempurna adalah saya, maka apabila saya salah, salahkan saya, bukan agama saya.
Komentar
Posting Komentar