Nice, Perancis di tanggal 3 agustus 1989 mungkin tak akan
menyangka bahwa, di hari itu akan lahir seorang legenda formula 1 yang akan
bermukim di wilayahnya. Ya, dihari itu Jules Lucien Andre Bianchi lahir dari
pasangan Philippe Bianchi dan Christine Bianchi.
Tanah Napoleon Bonaparte ini dalam sejarahnya melahirkan
beberapa pembalap hebat, seperti Jean alesi, Alain prost sang 4x juara dunia
formula 1 dan nama nama beken lain di Formula 1, seperti Piere Gasly, Esteban
Ocon dan lain lain. Kultur balapan di
perancis juga sangat bagus, terlebih mereka punya ajang ajang prestisius
seperti 24h of lemans yang di
laksanakan di sirkuit le mans de la Sarthe.
Suatu ajang yang sangat tinggi pamornya bagi para pembalap ketahanan.
Jules Lucien Andre Bianchi atau yang dikenal sebagai Jules Bianchi,
adalah salah satu talenta muda yang sempat digadang gadang sebagai salah satu
bintang formula 1 era modern. Lahir dari keluarga pembalap membuat naluri balap
Jules sangat buas dilintasan. Ajang ajang junior single seater di menangkannya
dengan sangat mulus, dan tanpa kesulitan yang berarti, ini membuktikan bahwa Jules
adalah salah satu talenta muda paling potensial di tanah eropa di tahun tahun
itu. Terlebih saat di usianya yang masih muda, ia sudah di manajeri oleh anak
Jean Todt, team principal Scuderia Ferrari di era tahun 2000an yang sukses
mengantarkan Michael Schumaher juara dunia beruntun di medio 2000-2004. Hal ini
sejalan dengan mulai terendusnya bakat Jules Bianchi muda di kubu kuda jingkrak
asal maranello Italia tersebut, maka
dengan segala potensi yang dimiliki Bianchi muda, pada tahun 2009 Ferrari
akhirnya membuat Ferrari Driver Academy,
menyusul Redbull yang telah memulainya lebih dulu.
Menjadi rekrutan pertama Ferrari bagi aset jangka panjang
team italia tersebut, tentu Jules Bianchi sangat berjasa bagi karir para
pembalap pembalap muda setelahnya, Sergio Perez, Charles Lecrlec, Antonio
Giovinazi, Calum Ilot dan anak dari legenda F1, Mick Schumaher juga bernanung
di tempat yang sama dimana Jules Menimba Ilmu sebagai pembalap Formula 1. Dan di
tempat inilah jalan Jules menuju F1 terbuka lebar. Sebagai prioritas jangka
panjang Ferrari, jelas Bianchi mempunyai banyak keuntungan, bahkan mungkin
beliau adalah junior driver Ferrari yang benar benar diperhatikan, terbukti
dengan jadwal test test Ferrari yang melimpah untuknya sebagai seorang pembalap
muda, jauh berbanding terbalik dari generasi sekarang yang hanya mendapat jatah
test beberapa kali saja. Ferrari juga aktif dalam mencarikan kursi untuk Bianchi,
contohnya saat Bianchi menjadi Reserve
Driver Sahara Force India di tahun 2012. Ya walaupun sekedar driver
cadangan, tetapi beliau telah turun beberapa kali dalam sesi free practice tiap
race week di musim itu, ini jelas kebalikan dari Ilot yang terkatung katung
nasibnya beberapa musim lalu seusai menjuarai Formula 2.
Setelah musim 2012 berakhir, dan Alonso telah dipecundangi
Vettel, akhirnya Bianchi mendapat jatah debut di Formula 1 sebagai pembalap
utama di Manor Marussia, Tim yang
menjadi cikal bakal tim Rio Haryanto di tahun 2016. Dan patut disadari bahwa Marussia merupakan tim papan bawah yang kerap
terseok seok di papan bawah klasemen, jadi bisa ditebak, area area grid berapa
saja yang menjadi hunian tim manor ini dalam mentas di kelas formula 1. Hanya saja
Marussia lebih beruntung nasibnya
ketimbang tim tim angkatannya di formula 1 angkatan tahun 2010an, marusia/manor
bisa bernafas sampai 2016 sedangkan hrt dan caterham telah undur diri sejak
tahun 2014, semua ini jelas salah satu faktornya adalah kehadiran Bianchi
sebagai Pembalap utama mereka.
Kehadiran Jules membuat posisi Marussia lebih mending ketimbang tim tim gurem
lainnya karena Marussia beberapa kali
finish di angka belasan, hal ini yang membuat Marussia mendapatkan uang lebih banyak dari fia karena posisi klasemen mereka lebih
unggul. Maka dengan hasil yang cukup memuaskan tersebut, akhirnya Jules resmi
memulai musim keduanya ditahun 2014 di tim Marussia lagi.
Dan di musim inilah dia mendapatkan point pertamanya sebagai driver professional
f1, tepatnya di Monaco. Di balapan yang chaos
itu Jules finish di posisi 9, resmi mendapatkan 2 point dan mencatatkan namanya
sebagai pembalap pertama Manor Marussia
yang mendapatkan point, sebelum disusul oleh Pascal Wehlerein dan Esteban Ocon
ditahun 2016. Namun patut dicatat juga bahwa Jules saat itu tidak mendapatkan
point secara cuma cuma, beliau bahkan mampu menyalip Kobayashi di tikungan
sebelum tunnel Monaco, dimana tempat ini sangat riskan untuk dijadikan spot
menyalip, beberapa driver seperti Pascal Wehlerein pernah merasakan betapa
susahnya menakhlukan tikungan ini.
Secara sosial Jules Bianchi juga dikenal sebagai pribadi
yang ramah di grid f1. Beliau adalah salah satu driver yang murah senyum dan
gemar membagikan suasana hangat ke orang sekelilingnya. Jules adalah orang yang
rendah hati walaupun menyandang predikat sebagai salah satu anak emas tim
legendaris asal italia. Selain pembuka jalan bagi para generasi generasi
setelahnya, Jules juga merupakan sahabat baik dari Piere Gasly, driver Alpha
Tauri di musim ini yang jadi salah satu driver binaan Redbull Academy. Selain Gasly,
Leclerc, driver ujung tombak Scuderia Ferrari musim ini juga punya kedekatakan
khusus dengan Bianchi. Bianchi adalah ayah baptis dari Leclerc, jadi hubungan
mereka tidak sekedar teman di lintasan balap, tapi lebih seperti saudara
sendiri. Peran Bianchi juga sangat besar bagi Leclerc, karena ditahun 2010,
saat orang tua Lerlec kehabisan dana untuk membiayai karir balap anaknya, Jules
dengan kerendahan hatinya, berkomunikasi dengan Nicholas todt, managernya dan
sampai akhirnya Nicholas membiayai semua kebutuhan karier Leclerc sampai
sekarang ada di Formula 1. Jadi bisa dibilang kalau Leclerc adalah salah satu
orang yang sangat terpukul atas kepergian Bianchi
Di awal bulan oktober tahun 2014. Jepang diterpa badai
phanfone, salah satu badai terdahsyat yang menerpa jepang kala itu. Dan seperti
di prediksi, walaupun daerah Sirkuit Suzuka tidak terkena efeknya secara
langsung, Badai ini berperan penting bagi turunnya hujan deras di area Sirkuit
Suzuka. Dan perlu diketahui juga, regulasi keamanan Fia saat itu tidak seketat
sekarang, bahkan mungkin Fia dan Bernie Enclestone sudah sangat yakin dengan
standar keamanan formula 1 tahun itu, mereka tidak akan menyangka bahwa
kematian driver formula 1 akan terjadi lagi setelah kematian Ayrton Sena 2
dekade yang lalu. Di hujan yang deras itu balapan tetap berlangsung walaupun
harus dimulai dari belakang Safety car. Mulanya berjalan lancar sampain
akhirnya mobil Adrian Sutil melimpir ke lintasan gravel di tikungan Dunlop. Di kondisi
yang separah itu sangat wajar bila ada mobil yang melintir diluar lintasan. Namun
malangnya, regulasi keamanan seperti virtual
safety car belum di terapkan di musim itu, di perparah dengan miss
komunikasi marshal di tikungan Dunlop membuat kecelakaan tragis Bianchi tak
bisa terhindarkan. Mobil Adrian Suttil yang terjebak di gravel itu harus
diangkat dengan crane. Dan perbedaanya,
untuk f1 era sekarang, kondisi seperti ini akan diberlakukan Virtual safety Car, dimana pembalap akan
menurunkan kecepatannya secara signifikan untuk menghindari hal hal yang tidak di inginkan. Sedangkan seperti
yang penulis bilang tadi, system virtual
safety car belum di terapkan musim itu,
kondisi saat itu hanya terbatas pada pengibaran 2 bendera kuning sebagai
tanda mobil pembalap harus memelankan kecepatannya. Namun kesalahan komunikasi
tersebut membuat mobil Bianchi tetap melaju cepat walaupun sudah kehilangan
daya cengkram aspal, sampai akhirnya mobil Bianchi menabrak crane pengangkut mobil Adrian Sutil. Menabrak
dikecepatan 200 km/ jam lebih. Dan mengakibatkan benturan sebesar 254 G (satuan
gravitasi). Benturan paling menakutkan
dan terbesar dalam sejarah formula 1. Dan apabila dikonversikan dengan satuan
kilogram, apabila 1G = 68 Kg, maka 254x68 =17.272 kg, atau dengan kata lain,
kepala Bianchi seperti ditimpa oleh benda seberat 19 ton lebih. Walaupun ia
beruntung kepalanya terlindungi oleh helm, namun benturan itu mengakitbatkan
cedera yang sangat serius yang membuatnya koma selama 9 bulan dan akhirnya
memaksanya melewati garis finish menuju dunia keabadian.
Warisan
Kendati Jules pergi terlalu cepat, Jules tetap meninggalkan
beberapa warisan bagi dunia formula 1 jaman sekarang. Karena insiden Jules lah
f1 hadir dengan virtual safety car, lebih memperhatikan keselamatan driver
mereka seperti saat hujan deras di spa francorchamps musim lalu, dan membuat
Fia dengan yakin menghentikan balapan karena kondisi trek yang membahayakan. Bahkan
bukti paling nyata adalah hadirnya perangkat halo, yang memproteksi kepala
driver dengan sempurna, terbukti dari beberapa penyelamatan krusial oleh
peraangkat halo, seperti kejadian Max Verstapen dengan Lewis Hamilton di Monza,
George Russel dengan Guanyu Zhou di Silverstone, atau bahkan menyelamatkan anak baptisnya
sendiri, Charles Leclerc dengan Alonso di spa francorchamps 2018 lalu.
Mungkin benar bahwa tanah perancis tak pernah kehilangan
talentanya di Formula 1, setelahnya muncul nama nama baru seperti Esteban Ocon, Piere Gasly, dan tentu
saja Anthonie Hubert, namun sayangnya Hubert pergi menyusul Bianchi lebih dulu
sebelum dia sempat menyicipi bangku Formula 1. Jules yang di harapkan akan
menyembuhkan dahaga juaranya Ferrari sudah pergi, dengan damai. Ciao Jules.
#JB17
tulisan ini terinspirasi oleh boxboxnow
Komentar
Posting Komentar