Langsung ke konten utama

Pada dasarnya kita tidak benar benar dewasa dimata orang lain.

 Sejatinya, menjadi dewasa bukan tentang umur, tapi dari sikap. Kita sepakat bahwa menjadi dewasa itu amat merepotkan dan menyakitkan, menghadapi semuanya sendiri, berdiri diatas keputusan keputusan yang telah kita ambil dan bertanggung jawab atas pilihan hidup yang kita jalani, singkatnya dewasa adalah bertanggung jawab atas diri kita sendiri.

Saban hari sebuah postingan random mengalir di beranda facebook saya, postingan itu membahas tentang sebuah capture/screenshoot video tik tok tentang seorang wanita yang masih belia memacari pria yang sudah dewasa. Semua itu belum mampu menarik atensi saya sampai sebuah pernyataannya menelisik nurani saya. "Gue 16 tahun tapi pemikiran gue udah dewasa!" Tulisnya di kolom komentar video tiktok miliknya, lalu disambut ramai ramai komentar para penghuni dunia facebook yang fana, sebagian dari mereka berkomentar "gila 16 tahun gue masih main layangan di kebon." Atau "16 tahun gue masih maenan petasan terus gue masukin ke sarung temen gue!" Lainnya lagi berkomentar tentang bagaimana sang pembuat video tiktok yakin bahwa dia sedewasa itu.

 Saya tidak akan mengajak anda untuk menggibahkan sang pembuat video tiktok itu, tidak, saya tidak bermaksud membagi dosa kepada pembaca sekalian, namun saya hanya ingin menanyakan kepada diri saya sendiri atau anda sebagai pembaca sekalian tentang "apa itu kriteria dewasa?"

Dewasa punya kriteria yang abstrak, semua tergantung dari sudut pandang setiap orang.  Barang kali itulah yang pertama kali saya pikirkan, Kriteria dimana seseorang mencapai tahap dewasa itu tidak pernah pasti, semua hanya batas imajiner yang muncul dari cara pandang orang lain. Sebagian mungkin menganggap bahwa dewasa itu lekat dengan masalah finansial, tak ubahnya dengan mapan, punya banyak duit, punya penghasilan tetap, punya mobil, rumah atau yang lainnya. Mapan acapkali di klasifikasikan sebagai kerja keras dan merupakan sebuah tanda seseorang telah mencapai tahap dewasa karena mampu mengambil keputusan yang mampu menunjang keberlangsungan hidupnya. Sebagian lagi berpikir jika dewasa dekat kaitannya dengan kematangan dalam hidup, hal ini sejalan dengan seberapa tepat keputusan hidup yang ia ambil atau seberapa mampu ia mengendalikan emosi dan gejolak amarah dalam hatinya. 

Lalu mana yang benar? 
Semua benar, semua orang punya pandangannya sendiri tentang dewasa, dan itu tak selalu sama bahkan bisa saja bertentangan, semua benar dalam pemikiran manusia, kita bisa saja memaksakan kriteria tertentu dalam menilai kedewasaan seseorang, namun apakah itu bisa menghasilkan penilaian mutlak? Tidak!

Sejatinya, dewasa adalah sebuah proses yang tak akan berakhir. Layaknya belajar dan sebagai manusia biasa, waktu dan semesta kerap kali mengajari bahwa kita tak selalu benar. Itulah mengapa belajar dari kesalahan diperlukan dan sepanjang kita belum mampu menguasai dan mengatasi kesalahan itu kita belum pantas disebut dewasa. Namun hakitkatnya, kesalahan dan penebusan kesalahan adalah sebuah siklus yang berulang, jadi bisa saja kita tak akan bisa disebut dewasa bahkan sampai kita mati.

Sebab memilah kritik dan nyinyiran bukanlah alasan satu satunya orang mampu disebut dewasa, itu adalah kemampuan yang harus dimiliki dalam seni bertahan hidup. Mungkin kebanyakan dari kita juga berpikir bahwa mampu memilah kritik dan nyinyiran adalah sebuah tanda mutlak seseorang telah dewasa, tapi perlu dikaji jika kita mampu menerima kritik namun secara sadar kita malah memaksa diri kita memenuhi kritik itu dimana kita sendiri tahu bahwa itu diluar kemampuan kita dan justru menjadi beban bagi kita, bukankah itu kelakuan tidak dewasa lainnya? Tidak, acap kali kritik baik tak selalu baik buat kita, dan memilah kritik dan nyinyiran adalah sebuah bekal bertahan hidup yang orang tua ajarkan kepada kita, bukan dari penemuan atas kita sendiri.

Lalu bagaimana kesimpulannya? Akhirnya kita tahu dewasa tak punya batasan pasti, dan diri kita tak benar benar mampu menilai apakah diri kita dewasa atau belum. Terlalu pagi untuk bisa menilai bahwa kita sudah dewasa atau belum, walaupun banyak orang menganggap kita dewasa, namun tidak semuanya berpikir demikian. Pada akhirnya yang paling penting bukan pada pengakuan kita dewasa atau belum, tapi ada di bagaimana kita membuat keputusan dan seberapa mau kita menerima konsekuensi atas keputusan kita, kita adalah jendral untuk hidup kita sendiri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Afterlife

  “Tidak… dia nampaknya tak akan bertahan lebih lama lagi.” “Aku harap ini adalah moment-moment terbaik di sisa hidupnya.” Suara berisik itu terus bersahut-sahutan diruangan tersebut. Akiong yang sudah lama di terpa oleh penyakit lansia kini telah sampai pada kekalahan atas pertarungan hidupnya selama ini. Dunia perlahan memudar dari kedua matanya. “Mungkinkah ini saatnya?” tanya Akiong dalam hati. “ah memang saat inilah waktunya.” Pungkasnya lagi kemudian disambut dengan gelap yang perlahan mulai menjalari penglihatannya. Tiiiitttt……… detector jantung menyala, meniupkan bunyi Panjang yang akhirnya mensunyikan ruangan tersebut. Semua Nampak tak percaya dan setengahnya telah menduga, beberapa orang diruangan tersebut saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya memeluk Akiong dengan isak tangis perpisahan.       ****** “ Ah dimana aku ini?” Tanya Akiong kaget, terbangun dari tidurnya. Matanya memutar sejenak, dipandanginya sekeliling ...

Yang akan terjadi pada kehidupan umat manusia di masa depan

  Masa depan adalah suatu periode waktu dengan berjuta ketidak pastian, kadangkala ia akan bersifat baik ataupun malah sebaliknya. Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan oleh umat manusia hanyalah pada sebatas prediksi dengan probabilita kemunkinan terjadi yang sangat terbatas. Bisa aja hal itu meleset, namun bisa saja menjadi benar. Selain itu, ke akuratan dari prediksi tergantung dari sudut pandang dan persepsi orang lain pula. Kadang ke jelasan kalimat yang tidak utuh akhirnya menghasilkan sesuatu yang terlalu ambigu atau mempunyai dua makna yang bisa diartikan secara multilinier. Sehingga pada akhirnya kebenaran dari masa depan terkesan dirangkul dengan satu kalimat tanpa penjelasan terperinci.   Adapun masa depan adalah sebuah periode yang tidak menemui kepastian, namun bisa saya Tarik prediksi bahwa beberapa hal yang saya cantumkan mungkin bisa jadi hal yang akan terjadi di masa depan, walaupun tidak 100% benar, ataupun bisa 100 % salah, namun hendaknya semua perk...

Yuda dan Wulan

  Suatu hari disuatu sudut sekolah di pertengahan tahun 2018. Di sudut kelas ips 3, yuda seorang siswa setengah jangkung itu berdiri bersandar pada tembok kelas tersebut. Matanya untuk sekejap mengudara mengitari sudut sekolah yang mulai sepi. Hal ini karena angkatannya telah meninggalkan sekolah, dan hanya tersiksa adik-adik kelasnya yang masih berada di dalam kelas. Perbedaan kurikulumlah yang mengakibatkan hal ini bisa terjadi. “Baiklah anak-anak, sepertinya ada yang sedang menunggu kalian diluaran sana.” Kata Bu eko datang dari dalam kelas. Yuda yang sedari tadi melongok dari jendela tiba-tiba menunduk setelah seisi kelas mengalihkan pandangannya ke arah yuda. “Sialan. Bu eko kalau jail emang suka kebangetan.” Gerutunya. “Hei wulan, pangeran yuda sudah siap menjumputmu.” Kata salah satu anak mengejek. Wulan tersenyum sinis, perasaan malu dan senang itu bertarung hebat di dadanya. “Hei yuda, sedang menunggu siapa kamu disana?” Tanya bu eko seolah memulai interoga...