Gue bingung memulainya darimana. Ini cerita yang sulit diungkapkan, diutarakan atau diyakinkan.
Tapi kita pertama kali berkenalan saat 2018, lebih tepatnya saat gue kelas 12 Ips. Keadaan kelas masih sama, hanya pindah ke bangunan yang lebih baru, lebih deket sama gerbang parkiran lebih tepatnya. Desas desus pengacakan kelas bakal terulang, berhembus beberapa hari sebelumnya, dan walaupun Alhamdulillahnya akhirnya rencana itupun batal, jadi gue tetep bisa sekelas sama orang orang yang udah gue anggap keluarga kedua gue.
Walaupun gue naik kelas, kelakuan superjail dan iseng gue nggak berubah. Walaupun gue orang yang sering kejebak di moment moment akward, tetep aja kalau gue udah di deket Aziz (sahabat yang udah gue anggep kakak sendiri) gue jadi orang yang paling absurd dan paling gak bisa berhenti ketawa. Aziz emang seperti memegang kendali hidup gue, kek kalau sama dia gue bisa lupa apapun cuma seneng seneng aja intinya. Dan karena dialah seolah gue mendapat kendali atas semua keusilan gue, mana si Aziz ini suportif banget lagi kalau gue ada ide jail.
Semuanya bukan soal Aziz kali ini, tapi dia adalah salah satu orang yang tahu dan ada saat gue mengalami salah satu moment ter patah hati selama hidup gue (untuk sekarang ini).
Hari itu, seperti biasa hari berjalan tenang. Guru pelajaran silih berganti sampai di salah satu pelajaran dimana gurunya berhalangan hadir, maka bisa anda prediksi gimana rusuhnya kelas gue saat itu, mirip mirip sama fans kpop pas kedatengan biasnya, rusuh banget dah intinya. Gue melirik, Denok temen gue lagi sibuk sama Handphonenya, dia ini tipe playboy kelas teri, yang doyan gombalin anak orang tapi gombalannya klise banget .
Happp
Hpnya udah tercuri rapi di telapak tangan kanan gue. Denok yang melihat kelakuan gue cuma bisa menghela nafas, udah hafal sama kelakuan gue.
Gue menscroll sampai bawah seluruh chat WA dia, sampai akhirnya gue menemukan salah satu chat dari adik kelas cewek yang cukup menyita perhatian gue.
"Gpp sih" jawabnya dari seberang, entah apa yang di bahas denok barusan.
"Gpp gimana coba aja ngaca." Balas gue.
"Kenapa?"
"Mukamu kayak babi angry bird." Jawab gue sambil terkekeh. Dan setelahnya tak ada balasan darinya. Denok mulai sewot.
"Mulut lo ngawur sih."
"Ya niat gue kan bercanda doang." Kata gue membela diri.
Setelah beberapa saat tak ada balasan, akhirnya gue ngechat balik orang tersebut.
"Lo marah?"
"Gak, buat apa marah." Jawabnya singkat.
"Oh yaudah, gue cuma mau bilang kalau yang bales lo ini bukan si Denok, tapi gue temennya." Kata gue menjelaskan sejujurnya. "Maafin gue ya, udah kelewatan."
"Iya." Jawabnya mengakhiri percakapan kami.
Karena perasaan bersalah gue, akhirnya gue jadi sedikit kepo dengan orang misterius tersebut yang entah Denok dapet nomernya darimana. Setelah gue stalking, gue akhirnya menemukan fakta bahwa dia juga suka nulis wattpad, sebuah kebetulan karena gue sedang gila gilanya menulis saat itu. Gue pun akhirnya mencari nama user wattpadnya di wattpad dan jreenngg ketemu!
"Ini Ale adek kelasnya denok kan?" Tanya gue di pesan wattpad.
"Iya, siapa?"
"Gue Ando, temennya Denok Yang ngechat lo tadi."
"Oh."
"Suka nulis juga?" Tanya gue penasaran.
"Iya sih, dikit, paling fan fiction korea doang." Jawabnya
Obrolan mengalir deras sampai entah gimana kejadiannya gue punya nomor Wa dia, dan setelah Denok tahu kalau gue punya Wa dia, habis gue diledekin sama dia, sialan!
Setelah beberapa minggu kenalan akhirnya gue beraniin diri buat nanya ke Denok anaknya kayak gimana, apa Dia kenal anaknya atau gimana, dan dia jawab
"Iya gue kenal, dia anak ips kok"
"Yang mana?" Tanya gue kepada Denok.
"Itu yang biasa duduk di hall depan sama si a dan si b."
"Tetep gak tau gue nok, entar kalau ketemu tunjukin anaknya dong." Pinta gue, walaupun hal itu menjadi hal yang seperti menguap, tidak pernah terjadi sampai beberapa hari. Gue pikir Denok udah lupa dengan permintaan gue tadi. Tapi ternyata enggak, dia menepati janjinya, lebih tepatnya setelah Sholat jamaah di mushola sma, gue dan rekan se geng BYC jalan bareng sampai akhirnya gerombolan adik kelas cewek datang dengan riuhnya.
"Dia ndo! Dia anaknya!" Denok berteriak keras sambil menunjuk pantat salah satu cewek di gerombolan tersebut. membuat keadaan canggung mengalir diantara kita semua.
"Sialan ni anak." Gumam gue dalam hati, gue padahal niatnya cuma pengen Denok nunjukin sambil bisik bisik atau kode, eh malah ditunjukin langsung tanpa basa basi dong, malu dong gue.
Gerombolan Ale dan kawan kawannya pun berlalu. dan dengan Nada Kesal Denok berujar.
"Katanya pengen tahu anaknya, kok diem aja dah."
"Selow dong, orang mana yang gak malu kenalan baru beberapa minggu, pengen ngeliat orangnya secara langsung lewat elo, eh elo malah teriak teriak sambil nunjukin pantat dia."
"Hilih, yang penting kan tahu. " Jawabnya membela diri. "Tapi lo liat mukanyakan?"
"Nggak."
"Tai." Ujar Denok kesal.
"Ya mana gue tahu, wong dia nunduk dan lo cuma nunjuk nunjuk pantat dia." Jawab gue sambil berlalu, mencoba melupakan kejadian barusan.
Puluhan purnama berlalu, hubungan kita sekarang sedekat nadi. Dari pribadi pribadi yang tak saling bertegur sapa, kini mulai tertarik untuk bertemu rupa. Sangat khas percintaan anak anak Sma, dimana adegan malu malu adalah part yang tak terpisahkan dari setiap cerita percintaan kami.
Angin berhembus semilir, mengantar merdu suara bel pulang sekolah. Gue sudah duduk rapi menunggunya didepan kelas sebelah kelas dia. Gue lupa kalau mantan gue ada di kelas yang sedang gue dudukin sekarang, dan setelah gue sadar untuk beberapa saat, keberadaan mantan gue muncul dari balik pintu. Mata ketemu mata, canggung dan kecanggungan adalah kepastian yang tak terelak, kami saling acuh walaupun kita masih sering berkontak ria di facebook. Ia berlalu bersama teman teman sejawatnya, yang paham dengan riwayat percintaan kami, tapi gue masa bodoh, karena niat gue kali ini, bukan ketemu dia. Tapi orang yang baru hadir sesaat dan membuat dunia seolah penuh dengan pelangi selama beberapa minggu terakhir.
Gerombolan anak kelasnya mulai memasuki lorong di depan gue, jantung gue berdetak keras tanpa jeda, membayangkan bagaimana keadaan kami saat bertemu kelak dan jleeggggg
Jantung gue seolah berhenti berdesir, ketika gue lihat paras anggunnya membelah lorong kelas 11. Hijabnya yang terjulur rapi membuat parasnya semakin sempurna, bak malaikat yang sayapnya sedang direntalin. Fuihhh.... Helaan napas kita mengisi ruang canggung yang terhampar diantara kita berdua.
Gue beranjak berdiri menghampirinya, menggenggam tangannya, itu adalah kali pertama gue memegang tangan seseorang dengan keberanian sendiri. Tangannya amat halus, tidak ada tanda tanda pernah kuli atau pernah mengaduk semen di sudut telapak tangannya. Sempurna dan tetap sempurrnnaaaa, definisi sempurna saja tak mampu menggambarkan keadaannya saat itu.
"Lo mau ngobrol dulu atau langsung pulang?" Tanya gue canggung dan berharap agar jantung gue nggak copot saat itu juga.
"Ehhmm enaknya gimana?"
"Ngobrol dulu kali ya? Kan gak enak masa langsung pulang?" Seloroh gue.
"Ngobrolin apaan emang?" Katanya penasaran.
Gue berdeham. "Duduk dulu duduk dulu." Kata gue mengajaknya untuk mengistirahatkan kedua kakinya. "Mau minum nggak? Kebetulan gue udah pesen sama Ibu kantin tadi, kali aja lo kehausan."
"Nggak deh."
"Jadi gimana? Masih suka nulis?"
"Cieeeeeeeeeee...." Widodo dan kawan kawan sesat gue mengkoor tiba tiba, membuat suasana malu dan canggung mengudara saat itu juga. "Sialan, ternyata belum pulang juga mereka." Gumam gue.
"Masih." Katanya sambil mengangguk, sembari mengalihkan wajahnya kembali menghadap gue. "Tapi masih tetep stuck."
"Mau gue bantuin nggak?"
"Bantuin apa?" Dia menggeleng, entah memang nggak ngerti atau mencoba terlihat nggak mengerti.
"Ya kita bikin cerita bareng, cerita hidup kali ya." Kata gue tanpa berpikir panjang, sambil ngedumel dalam hati "ngomong apaan ini gue anjirrrr...."
"Sa ae lo gombal." Jawabnya sambil menampar pipi gue, manis.
Obrolan pun mengalir sampai setengah jam lebih, tak terasa berlalu begitu cepat.
Dia beranjak dari duduknya, melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Gue balik dulu ya, udah sore juga."
"Yahh.. mau gue anter? " Ya basa basi anak sma yang mau modus gitulah.
"Eh nggak usah"
"Kenapa?"
"Nenek aku galak." Dia tinggal sama neneknya btw, ortunya beda desa dan dia bilang lebih nyaman tinggal sama neneknya. "Ntar disemprot panas dingin kamu."
"Hilih bilang aja gak mau diboncengin."
"Hiihhh... Nggak gitu Ando...." Jawabnya sambil mencubit lengan gue dan berjalan meninggalkan gue. Membuat gue bergegas menyusulnya berlari kecil keparkiran, dan menyelingi dengan obrolan kecil sebagai pengantar.
Motornya menyala, gue sengaja untuk tetap setia berdiri di sebrang jalan parkiran . Sengaja ingin melepas kepulangannya saat itu. Dan ketika ia lewat depan muka gue, ia melemparkan senyumnya yang indah itu. Gue ingin pingsan saat itu juga, ingin sekali gue bilang "Tuhan, gue overdosis senyuman manisnya, selamatkan aku tuhan, aku ingin hidup bersamanya lebih lama lagi."
****
Haruskah gue memulai part paling sulit untuk gue tulis? Ketika realita dan ekspektasi tak pernah bertemu bersama?
Waktu terus berjalan bulan demi bulan, gue mulai menghadapi apa yang disebut "hari kelulusan." Ketika di moment moment gue gak tau jadi apa itu, gue hanya ingin satu hal, mendapat perjalanan paling seru dan berakhir di pelukannya, ya pelukannya Ale.
"Yah bakal jarang ketemu dong." Ucapnya dari seberang.
"Iya mau gimana lagi... Namanya juga hidup." Ketusku di sela sela jam istirahat di jam tambahan, di bulan januari yang amat panas.
Di waktu itu, melewati berbagai hal bersama seperti menyelesaikan permasalahan internal dengan orang tuanya. Drama hp rusak dan cuma dikabarin sekali seminggu adalah hal yang biasa dihari hari itu. Seiring sibuknya gue, itensitas ketemu kita emang jarang terealisasi. Tapi saat dia butuh bantuan gue, gue akan mencoba selalu ada untuk itu, dan gue terus menepatinya kala itu. Termasuk begadang demi membantu mengerjakan prnya.
Semua sempalan itu terus berjalan sampai akhirnya gue memilih untuk menimba ilmu hidup dibatam. Hubungan kita merenggang, walaupun kita sering chatingan tiap waktu. Dan kabar burukpun terdengar dari jarinya langsung saat dia bilang
"Maaf gue udah jadian."
Jleeegg serasa mendapat serangan jantung tiba tiba, gue duduk termenung selama beberapa detik di tangga outlet tempat kerja gue. Tak menyangka segala usaha gue menjadi usang terbawa angin. Teringat saat gue bilang
"Gue suka elo, tapi kayaknya elo udah tau."
"Iya gue tahu kok, tapi gue gamau pacaran, kita gini aja ya sampai nanti kita jodoh?"
Gue yang baru putus beberapa bulan sebelumnya dengan mantan gue pun, akhirnya menyetujuinya. Dan seolah janji itu mengkhianati usaha gue di hari hari keras, ketika gue duduk dengan kaget di tangga outlet.
Gue nggak menjawab pesannya selama beberapa hari, sampai akhirnya dia kembali ngechat gue dan bilang kalau dia udah putus. sambil bilang
"Keknya gue kerna karma dari lo deh."
Gue girang banget saat itu, gue gedor gedor pintu freezer dapur sampai dimarahin leader shift gue. Gue cuma nyengir waktu Mas mas semipria itu melotot matanya. Seolah kesempatan untuk mendapatkan hatinya terbuka kembali, walaupun itu cuma jadi, mimpi di siang bolong untuk pada akhirnya.
The one that got away, dari katty pery terputar saat gue menulis bab ini. Lagu yang cukup untuk menggambarkan, gimana gue kehilangan kewarasan gue di saat saat moment terpatah hati. Ketika gue mulai sibuk dengan jadwal ojt disalah satu minimarket di branch Rembang. Dia dengan tanpa aba aba bilang
"Maaf ya, sebenernya gue udah jadian beberapa hari lalu, sama temen dari temen cewek gue." Jdaarrrr seketika bayangan semua usaha yang gue rancang buyar. Rencana tiap libur ketemuan walaupun harus capek bolak balik Jepara-Rembang, Rencana untuk menabung buat dia dll saat itu buyar, hilang dimakan asinnya garam.
Itu lebih parah daripada kejadian beberapa bulan lalu. Gue 2 hari gak keluar kamar karena masing terbayang kata katanya. Gue gak tahu apa yang harus gue perbuat hari itu, namun karena dia jadi senior seminggu lebih di tempat kerjaan itu, jadi gue harus pasang tampang baik baik aja, wajah yang seolah bilang
"Yaudah, gue gpp kok, kalau mau tabrak pake mobil ya monggo."
Hubungan pahit dan hambar itu berlangsung hampir sebulan lebih. Ketika gue memutuskan untuk kerja di tempat lain, semuanya seolah membaik. Tapi semu. Seperti kejadian sebelumnya, hubungannya dengan sang pacar yang cool cuek itu merenggang, dan dia butuh pelampiasan untuk di bunuh secara membabi buta. Kita berdua mendekat kembali. Bahkan demi buat ngebantuin menangin promo disalah satu program tokonya, gue rela ngeborong sekresek kopi sachetan, yang dimana sebenernya gue sedang mendapat pantangan untuk tidak ngopi karena masalah lambung. Nggak cuma sekali, tapi berkali kali, ketololan gue nggak usah dipertanyakan lagi saat itu.
Bahkan Widodo yang mengenal dekat riwayat percintaan kami mendukung hal itu. Jadi ketika semua tak sesuai rencana, gue jadi sedikit merasa bersalah dengan Widodo.
Bulan berganti bulan sampai akhirnya dia berhubungan baik dengan pacarnya kembali. Sinyal buruk bagi gue, tapi gue cuma manusia biasa yang nggak bisa mencegah hal itu terjadi. Maka setelahnya, setiap malam gue hanya dihantui oleh perasaan takut kehilangannya untuk selamanya, padahal gue udah sejengkal untuk menghadapi hal itu. Gue masih berhubungan yaaaaa gitu dahh.. gak baik baik banget sampai suatu kalimat terketik dari jari jemarinya.
"Kamu gak cuek kayak dia." Sontak nurani gue marah, seolah gue yang udah ngelakuin banyak hal buat dia, hanya jadi pijakan yang selesai ia pijak lalu ia tinggal pergi.
Pertengkaran hebat terjadi hari itu, sampai pacarnya turun tangan dan gue blok langsung, cukup pengecut, gue akui. Tapi gue merasa urusan gue cuma ada di Ale. Dan setelah semuanya semakin kusut, gue menelpon Aziz saat itu juga, gue ceritakan semuanya kepada dia, dan gue menghabiskan waktu tiga jam hanya untuk agar dia meyakinkan gue bahwa "You will fine without her."
Semuanya lagi lagi membaik, tapi perasaan sakit hati itu seolah tak menemukan tempat lain untuk beralih. Gue mencoba untuk membalas dendam padanya, gue mendekati salah satu sahabatnya dan dengan anjingnya gue salah sangka, dan ternyata dia juga punya pacar, Anjiiiinggg......
Gue akhirnya sadar, bahwa semua hal untuk membalas semua rasa sakit itu, tidak berkerja sesuai apa yang diharapkan. Gue mulai jadi marah dengan Tuhan, seolah semua usaha gue tahajud untuk membuka seluruh pintu hatinya gagal dan tidak direstui tuhan. Bahkan sampai detik ini perasaan itu masih mengganjal. Walaupun kadang gue berpikir kalau gue juga salah, seharusnya gue juga bersyukur karena tuhan ngirim orang kayak Aziz, Widodo dll yang dulu gue perjuangin, berdoa selama berbulan bulan demi bisa sekelas bareng.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Gue masih sering memikirkannya, sering ngepoin ig dia, walaupun gue hanya jadi silent reader. Gue masih hidup dibayang bayangnya. Kadang gue berpikir kalau gue mencintai dirinya dulu, pribadi yang masih lugu dan selalu minta pertolongan gue. Bukan pribadinya sekarang yang tak jauh dari egoisme dan pribadi yang asing bagi gue. Kadang gue juga menganggap Ale sudah mati, dan kini yang hidup hanya satu Insan berwajah Ale tapi terlalu asing bagi gue. Apalagi saat didetik detik akhir perjumpaan kita, gue lihat nafas panjang menghela dari ujung hidungnya. Seperti menganggap gue sebagai pegganggu bagi hidupnya, jadi ketika gue memilih untuk kembali Ke kota halaman gue, Jepara. Ketika semua teman teman gue telah gue kabari atau kunjungi, hanya untuk bilang bahwa kita bakal lama gak ketemu, gue juga sempat untuk ingin mengucapkan salam perpisahan buat dia. Tapi semuanya berubah ketika gue menghentikan motor gue dibawah lampu merah Stasiun Rembang yang berpendar terang. Gue akhirnya hanya berdeham dan bergumam
"Kayaknya gue gak usah ganggu hidup dia lagi."
Entah dimasa depan Tuhan ngirimin wanita yang lebih spesial dari elo atau enggak, tapi gue yakin iya, walaupun gue benci untuk mengatakan ini. Gue minta bantuan elo ya, supaya gue lepas dari bayang bayanglo dan dapat wanita lebih dari lo. Entah lo sempat membaca semua keluh kesah gue selama ini atau enggak, gue nggak berniat memancing keributan disini, tapi kalau lo merasa marah, kolom ig gue bisa lo isi sama semua sumpah serapah lo kok. Atau lo juga bisa nyuruh pacar lo ngebogem gue. Terimakasih juga buat bapak Decis alias Aziz karena masih mau dengerin curhat dari gue selama ini.
Komentar
Posting Komentar