Langsung ke konten utama

Rumah dan Jarak

Sebelumnya, maaf kalau agak mellow postingan gue kali ini. But hope you can enjoy. 

Hujan rintik rintik mengiringi gue disaat gue menulis postingan ini. Postingan yang seharusnya udah gue buat beberapa hari yang lalu, namun tertunda karena beberapa alasan tertentu. gue nanar, memandang layar ponsel yang terus menyala terang bersama dengan suara Aria Dinata vokalis Samsons yang mulai mengalun perlahan memasuki lubang telinga. 

Gue memang benar benar ingin menceritakan bab ini, ya karena kurang lebihnya gue ingin membuat sebuah pengakuan. Soal petualangan gue beberapa bulan yang lalu.
The real life is coming when you done graduation from your school. Itu bener, itu terjadi juga sama gue. Dan bahkan seharusnya gue sudah merasakan hal itu beberapa bulan, jauh sebelum gue lulus. Kesepian, tengok kanan kiri. Gak ada orang, cuman ada ortu yang lagi sibuk. Seketika terbayang suasana kelas yang ramai, penuh sesak dengan anak yang kelakuannya beraneka rupa. Ada yang bandel sama cewek sampai kejar kejaran kayak film india, ada yang ketiduran dipojok kelas, ada yang lagi ngerumpi juga, semua suasana itu terekam jelas oleh kepala gue. Dan hari ini secara resmi gue menganggur dan sudah lulus sejak april lalu. Di hari ini juga, tepatnya beberapa jam yang lalu sebuah reuni kecil kecilan terjadi. Pertemuan yang sudah direncanakan jauh jauh hari itu terpaksa tak berjalan sesuai rencana karena beberapa alasan. Kita memaklumi. Terdapat beberapa kekacauan juga soal titik kumpul tadi awalnya, sampai akhirnya kita berkumpul disalah satu rumah sahabat gue. 
"Nah itu dia!" Widodo sahabat gue berseru, menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari sebuah warung kayu kecil. 

Kami menghampiri anak itu perlahan, untuk identitasnya namakan saja dia bigboss. Dia membuka gerbang kecil untuk memarkirkan motor kita berempat dan mempersilahkan kami duduk di kursi yang tersedia. Sejenak tergambar wajah wajah lama yang menghilang dipisahkan nasib itu kini berkumpul kembali. Tapi untuk kelanjutannya gue ceritain aja nanti. Cerita gue tarik kembali kebeberapa bulan sebelum reuni kecil kecilan ini terjadi. Disaat gue terdampar di sebuah kota bandar yang jauh, nekat sebagai anak 17 tahun pergi merantau. Saat itu gue anggap semua bakal lancar sesuai dengan ekspektasi gue. Sebenernya kalau gue dibilang pergi merantau itu nggak setuju sih, karena faktanya gue lebih ke "kabur merantau." Alasan konkritnya karena gue khawatir dengan masa depan gue yang hanya akan berjalan begitu begitu saja dan karena alasan irinya gue sama temen temen yang bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi. (Kuliah.) Gue sangat munafik kalau gue bilang nggak iri sama mereka, karena ngeliat mereka pakai jas almamater, ikut organisasi tertentu, terlihat sibuk dan penting sampai suatu saat mereka akan di wisuda dengan sebuah foto keluarga yang akan mendampinginya di foto itu suatu hari. Ke iri-an gue bukan berarti itu saja. Sebagai anak yang berekspektasi gue bahkan kuliah dan berfoto sama keluarga saat wisuda nanti ditambah guru bk yang pernah bilang gue berpeluang masuk itb dan unsika karawang cukup membuat gue berekspektasi tinggi.  Tapi gue dulu sombong dan emang polos dan tanpa beban bilang "gue bakal kerja dulu, nanti baru kuliah." Tapi apa faktanya? Gue kerja di batam malah dapat kerjaan yang gajinya jauh di bawah umr. Gue enggak berarti menyalahkan tempat kerja gue itu, gue nggak mau nuduh mereka atas apapun, gue hanya kesel sama ekspektasi gue dulu yang terlalu tinggi.  Hari terus berjalan sampai saat gue telat datang shift pagi gara gara bangun kesiangan, gue enggak kesel juga karena emang itu kesalahan gue, dan kesalahan itu hanya gue anggap sebagai angin lalu. Lalu tiba keesokan harinya, gue berhasil bangun pagi dan gue sempet merenung di toilet rumah selama beberapa menit. Gue enggak berfikir kalau kejadian kemarin bikin gue bertanya tanya tentang "apa sih yang bikin gue telat? masalah gue bukan cuma bangun pagi, tapi gue juga punya masalah lain yang belum gue sadari." Dan bammmmm.... Gue teringat masa masa sekolah gue, dan saat itu gue sadar bahwa gue enggak benar benar ada di lingkungan "rumah gue sendiri."  Gue berjalan terseret, bangun dengan terpaksa, kerja dengan pertanyaan "rasanya kok gini ya?" Dan tidur dengan tidak nyenyak, dan hal itu terus menjadi siklus sampai beberapa bulan belakangan. Beberapa temen gue juga resign dengan alasan pulang kampung, dan hal itu juga yang bikin gue berpikir "gue kayaknya harus pulang juga?" Ya walaupun gue tau kalau enggak semua temen gue resign dengan jawaban yang jujur itu.

Beberapa hari berjalan begitu berat, setelah kesadaran diri gue yang "nggak lagi di rumah sendiri." Membawa gue berpikir tentang definisi rumah. Ternyata rumah bukan sebuah tempat atau bangunan, tapi tempat dimana lo merasa nyaman. Gue pun mulai mencari sesuatu yang seenggaknya bisa menahan gue di kota ini lebih lama lagi, gue mulai mencari suasana baru dengan cara pulang dengan rute rute yang berbeda, khususnya kalau lagi shift pagi. Gue selalu nggak pernah ngambil rute pulang yang sama saat gue pulang dan ketika gue berangkat. Berharap gue dapet suasana baru yang membuat gue betah untuk lebih lama disini. Namun semuanya tetep sama. Semua terasa sama saat gue menginjak rumah. hampa, mati rasa, rindu sesuatu terus menyeruak. Dan sejujurnya hal ini yang bikin gue kalau shift malem selalu berdiri memandangi rumah saudara yang gue tempatin lalu bertanya "ini rumah gue nggak sih?" Lalu gue memandang kanan kiri, jalanan perumahan yang sepi ditelan malam dan basah karena dimandikan gerimis.lalu dengan menutup mata dan menarik nafas yang panjang, gue pun bilang "oke gue harus pulang ke rumah gue yang sebenarnya."

Sejak keputusan itu dibuat, gue mulai sedikit lega. Beberapa orang mulai tahu soal keputusan gue dan bilang kalau itu keputusan bodoh.  Tapi gue nggak mau ambil pusing, gue hanya mau hidup dengan pilihan gue, karena dewasa itu berani mengambil resiko dari keputusan sendiri. Banyak orang yang bilang "kan dibatam enak? Ngapain pulang?" Tapi balik lagi, standar orang soal enak itu berbeda beda. Selera makan aja beda apalagi selera hati. Ada pula yang bilang "kok nggak digenepin setahun aja?" Tapi hati gue bilang kalau gue enggak pernah ada jaminan hidup sampai kapan. Kematian beberapa orang disekitar gue cukup membuat gue berpikir kalau kematian bisa datang ke gue kapan, dan dimana saja.  gue nggak bener bener bahagia keluar masuk mall. Gue lebih suka masuk becek becekan di pasar lalu beberapa pedagang menyapa gue ramah. Gue enggak bener bener suka dikelilingi rumah mewah, gue lebih suka gue dikelilingi rumah reot dengan penghuni yang menyapa gue tiap pagi. Mereka benar benar berpikir itu hanya keputusan bocah yang kalah saing di sebuah kota metropolitan. Tapi gue nggak perduli, gue nggak masalah pulang dengan status pecundang, yang penting gue seneng. Gue bukan tipe orang yang bahagia ketika gue menang gengsi.

Gue pulang ke jepara dengan nekat karena gue baru naik pesawat pertama kali sebelumnya dan belum tahu proses check in itu kyk gimana. Gue hanya "Bismillah tak tekati muleh." Dan alhamdulillah gue selamat sampai rumah. Namun setelah beberapa hari di Jepara, gue akhirnya ke Rembang lagi, kota dimana gue punya sejuta kenangan dengan sahabat sahabat gue. Gue kembali ngerasain rasa susahnya ngumpulin temen temen lama. Gue enggak marah, gue memaklumi.Walaupun gue sebenernya juga iri kalau mereka bahas soal kuliah, tapi gue coba untuk mengikhlaskan. Gue akhirnya bisa kumpul sama temen hari ini, sebelumnya gue hanya ngumpul sama beberapa temen aja, dan gue juga cukup senang saat mereka juga cerita kalau mereka juga merasakan rasa yang sama. Ling lung dan kesepian. Suasana yang akrab sama gue beberapa bulan terakhir, rasa yang enggak gue pengen dateng ke kehidupan gue. Rasa itu muncul tepatnya saat gue harus tryout dan temen temen dipecah dalam beberapa sesi. Dulu kita kumpul jam 7-1 siang hampir setiap hari, ketawa ketiwi bercanda seolah nggak ada beban. Tapi hal itu berubah saat tryout dimana gue hanya mungkin bertemu mereka selama 1-2 jam atau malah setengah jam aja. Di momen itu saat temen temen pulang kerumah masing masing dan tinggal gue sendiri. Gue merasa kosong, gue menatap lampun lalu lintas itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Sepi, tak ada canda yang terdengar lagi. semuanya terus berlanjut sampai hari ini, detik dimana reuni kita selesai. Gue udah nganterin widodo pulang karena dia tadi nggak bawa motor. Saat gue balik pulang itulah semua rasa kesepian itu kembali menghinggapi, rasa yang udah akrab sama gue beberapa bulan terakhir itu menjalar dengan sendirinya. Namun gue harus toleran sama rasa ini, gue nggak bisa kumpul sama mereka semua, tapi gue akan mencoba bertemu dengan mereka satu persatu sepanjang gue bisa melakukannya. Gue nggak bisa nyalahin siapapun karena mau nggak mau keadaan ini bakal keulang terus. Gue nggak sesering dulu meminta tuhan "Ayolah tuhan bawa gue balik ke masa masa itu saat gue bangun keesokan harinya. Kalau lo minta bayaran buat gantinya, gue bakal bayar kok." Gue nggak separah itu lagi, walaupun sejujurnya gue terkadang juga masih meminta hal itu lagi.

Eeee.... Mungkin segini aja gue cerita, gue hanya ingin kalian menangkap maksud gue. Maaf kalau agak menyinggung perasaan kalian. tapi ini kejujuran rasa gue. Sekali lagi terima kasih.

*Buat pak ketu.* I'm not want to make a distance with you, But I will hug you If I can. Thanks for being a parts of my life :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Afterlife

  “Tidak… dia nampaknya tak akan bertahan lebih lama lagi.” “Aku harap ini adalah moment-moment terbaik di sisa hidupnya.” Suara berisik itu terus bersahut-sahutan diruangan tersebut. Akiong yang sudah lama di terpa oleh penyakit lansia kini telah sampai pada kekalahan atas pertarungan hidupnya selama ini. Dunia perlahan memudar dari kedua matanya. “Mungkinkah ini saatnya?” tanya Akiong dalam hati. “ah memang saat inilah waktunya.” Pungkasnya lagi kemudian disambut dengan gelap yang perlahan mulai menjalari penglihatannya. Tiiiitttt……… detector jantung menyala, meniupkan bunyi Panjang yang akhirnya mensunyikan ruangan tersebut. Semua Nampak tak percaya dan setengahnya telah menduga, beberapa orang diruangan tersebut saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya memeluk Akiong dengan isak tangis perpisahan.       ****** “ Ah dimana aku ini?” Tanya Akiong kaget, terbangun dari tidurnya. Matanya memutar sejenak, dipandanginya sekeliling ...

Yang akan terjadi pada kehidupan umat manusia di masa depan

  Masa depan adalah suatu periode waktu dengan berjuta ketidak pastian, kadangkala ia akan bersifat baik ataupun malah sebaliknya. Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan oleh umat manusia hanyalah pada sebatas prediksi dengan probabilita kemunkinan terjadi yang sangat terbatas. Bisa aja hal itu meleset, namun bisa saja menjadi benar. Selain itu, ke akuratan dari prediksi tergantung dari sudut pandang dan persepsi orang lain pula. Kadang ke jelasan kalimat yang tidak utuh akhirnya menghasilkan sesuatu yang terlalu ambigu atau mempunyai dua makna yang bisa diartikan secara multilinier. Sehingga pada akhirnya kebenaran dari masa depan terkesan dirangkul dengan satu kalimat tanpa penjelasan terperinci.   Adapun masa depan adalah sebuah periode yang tidak menemui kepastian, namun bisa saya Tarik prediksi bahwa beberapa hal yang saya cantumkan mungkin bisa jadi hal yang akan terjadi di masa depan, walaupun tidak 100% benar, ataupun bisa 100 % salah, namun hendaknya semua perk...

Yuda dan Wulan

  Suatu hari disuatu sudut sekolah di pertengahan tahun 2018. Di sudut kelas ips 3, yuda seorang siswa setengah jangkung itu berdiri bersandar pada tembok kelas tersebut. Matanya untuk sekejap mengudara mengitari sudut sekolah yang mulai sepi. Hal ini karena angkatannya telah meninggalkan sekolah, dan hanya tersiksa adik-adik kelasnya yang masih berada di dalam kelas. Perbedaan kurikulumlah yang mengakibatkan hal ini bisa terjadi. “Baiklah anak-anak, sepertinya ada yang sedang menunggu kalian diluaran sana.” Kata Bu eko datang dari dalam kelas. Yuda yang sedari tadi melongok dari jendela tiba-tiba menunduk setelah seisi kelas mengalihkan pandangannya ke arah yuda. “Sialan. Bu eko kalau jail emang suka kebangetan.” Gerutunya. “Hei wulan, pangeran yuda sudah siap menjumputmu.” Kata salah satu anak mengejek. Wulan tersenyum sinis, perasaan malu dan senang itu bertarung hebat di dadanya. “Hei yuda, sedang menunggu siapa kamu disana?” Tanya bu eko seolah memulai interoga...