Hujan perlahan menuruni langit di waktu sore pada tahun 2021. Gue berteduh tepat di salah satu halte, melihat kendaraan beroda empat atau lebih berlalu lalang, menyapu air yang menggenang dijalanan, meninggalkan gue yang diam berdiri kedinginan bersama beberapa orang lainnya.
"Dih tolol, kenapa tiba-tiba hujan. " Kata gue kesal, nggak memperkirakan langit bakal menganugerahkan hujan di sore itu, sehingga gue nggak bawa jas hujan dari rumah.
Hujan terus menerus turun dari langit sampai setengah jam kemudian, sembari hujan terus turun, gue merasa handphone gue berdering, sejenak gue angkat ponsel yang berdering disaku celana. Gue melihat nama Dodo, temen gue menelfon dari seberang.
"Ya? Sabar lah, lagi hujan, gue gak bawa jas hujan. "
"Dih lo juga aneh, musim penghujan gini malah gak pernah bawa jas hujan. "
"Ya kan dari rumah tadi terang banget kek wajahnya mbak Wendy Redvelvet. " Kata gue kesal, dan mencoba menerangkan seberapa terang cuaca saat gue berangkat. "Kalau gue tau bakal ujan juga gue lebih milih ngendok dirumah sambil makan sarimi anget. "
"Ya ya ya, cepetan lo. " Selorohnya dari seberang kemudian menutup telfon.
Gue menutup telfon lalu memasukan kembali ke saku celana. Mencoba menerka-nerka seberapa lama hujan akan bertahan. Sembari menatap jalanan yang basah, sekilas terbayang waktu saat gue hujan-hujanan nyamperin salah satu anu, ketika dia bilang dia bakal tidur di outlet dia kerja karena lembur 24 jam. Saat-saat wajar bagi pesakitan seperti gue, yang baru saja menyadari bahwa gue bukanlah orang yang dia harapkan. Seolah terhanyut dengan masa-masa menyakitkan itu, gue akhirnya tersadar ketika muncul whatsapp dari Dodo.
"Sampe mana lo? "
Gue melihat ke langit sekilas. Tangan gue menengadah keluar dari atap halte, Telapak tangan gue tidak merasakan rintik hujan sederas tadi, namun udara masih dingin. Saat itu juga, dengan kebulatan tekat, gue kencangkan jaket lalu menaiki motor gue. Menjejaki jalan-jalan pantura yang masih basah disiram hujan di bulan Februari, dan menyelinap diantara kendaraan yang berlalu-lalang menuju tempat tujuan.
****
Beberapa menit kemudian gue sampai di tempat tujuan. Gue parkir kan motor gue tepat disamping tangga menuju jembatan penyeberangan orang depan SMP 2. Sejenak terlihat sepasang kaki bersepatu menggantung dari atas jembatan tersebut. Gue sangat hafal sepatu itu, sepatu yang Dodo beli beberapa bulan lalu bareng gue buat kerja, alasannya "ini udah sop perusahaan, karena gue anak baru jadi diwajarin kalau beberapa hari pertama gak pake sepatu sesuai peraturan. "
Perlahan gue menaiki anak tangga jpo tersebut, sampai samar-samar terdengar suara pria bergumam sambil memandangi pemandangan jalan pantai utara yang ramai dengan kendaraan, dari jembatan tersebut. Gue berjalan pelan ke arah pria tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah si Dodo, seorang pemuda yang terobsesi untuk menjadi idol Korea, seorang sahabat gue yang kenal sejak kami kelas 2 sma.
Dengan pelan gue sentuh pundak dia. Dirinya yang masih terlalu sibuk dengerin lagu pakai earphone, belum menyadari keberadaan gue saat itu.
"Do" Panggil gue pelan, berusaha nggak merusak mood dengerin musiknya.
"Eh elu" Katanya sambil mencopot sebelah earphonenya. "dateng juga lu akhirnya. "
Gue berdeham, lalu ikut duduk disebelahnya sambil menjulurkan kaki bergantung ke udara. "Ya maaf, musim hujan.. "
"Udah tau musim hujan, nggak pernah bawa jas ujan, gg emang lo."
"Hsst... Gak usah diperpanjang, ada apa lo tiba-tiba ngajak gue dateng kemari? " Tanya gue penasaran, berusaha menanyakan tabiatnya yang memang tidak seperti biasanya.
Dodo yang mendengar pertanyaan itu akhirnya memalingkan wajah ke gue, sambil memasang ekspresi serius.
"Lo pernah ngerasain patah hati nggak? "
Gue memincingkan mata, setengah heran. "Serius lo nanya ke orang yang curhat ke elo beberapa hari lalu karena kena jebakan friendzone? "
"Hmm bener juga. " Dia mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan. "Tapi gue kira lo itu kek b aja gitu, sama dia. "
"Kek gitu lo bilang b aja? Lawak banget lo. " Jawab gue setengah sewot.
"Yeee sabar dong, gue kan cuma menerka-nerka. " jawabnya "nggak gitu, gue mau cerita kalau gue abis putus sama doi gue. "
"Doi yang mana satu nih?"
"Ya yang itu. "
"Yang itu mana?" Kata gue setengah meledek. "Cewek-cewek yang lo kenalin ke gue itu sering beda-beda anjir, kemaren malem lo bilang deket sama anak semarang, eh tadi pagi lo ngechat lo lagi deket sama anak sebelah desa lo, sekalian noh pacar lo Papua Nugini kenalin gue juga. "
"Dih, yang anak kota sebelah ituloh, yang gue bilang temen kerja gue. "
"Lah emang kalian udah pacaran? " Tanya gue keheranan.
"Ya belum sih, tapi kita itu deket banget. "
"Deket doang kagak jadian, jempol sama telunjuk gue juga deketan tapi gak pacaran tuh. "
"Seriuss.. Gak boongan nih gue. "
Gue berdeham "emang kalian putus karena apa? "
Dodo menatap langit-langit, pandangannya mengangkasa luas, dibarengi dengan kakinya yang menggantung terhembus oleh angin dari kendaraan yang lewat.
"Barangkali restu orang tua, tak semudah keliatannya."
Gue diam, nggak tau harus menjawab apa. Permasalahan mulai pelik ketika kita sudah tak menginjak di bangku sekolah lagi, permasalahan di tempat kerja, kisah percintaan yang kusut, dan masalah-masalah yang lainnya bermunculan menunggu untuk dikeluh kesahkan.
"Lo tau nggak? " Katanya memecah suasana hening yang sempat merebak, membuat gue memalingkan wajah dan memadang wajahnya sejenak. "step tersusah buat ngelupain orang itu apa? Pas kita udah asing dan kayak nggak kenal. " Sambungnya lagi.
"Paham sih." Ucap gue, kemudian kembali beralih memandangi sepasang sejoli yang melintasi jalan dibawah kami, sampai berangsur-angsur membaur dengan gelapnya suasana yang mulai gelap. "Situasi saat lo udah harus bersikap biasa sama orang yang dulu pernah bikin lo bahagia, itu kadang aneh rasanya. "
Tangannya perlahan mengawang ke udara, mencoba menghalangi sinar bulan yang perlahan turun di sore menjelang malam itu. Matanya menerawang dari sela-sela jemarinya, seperti ingin mengintip sinar rembulan yang sedang memandikan gelapnya malam itu. "Kalau gue lihat bulan gini, gue jadi keingetan sama dia." Nadanya tertahan sejenak, seperti tercekat oleh sesuatu hal. "Dulu kita sering pulang kerja bareng kalau satu shift, terutama shift pagi pulang maghrib, gue bela-belain keluar kota abis gawe cuma demi buat nganterin dia."
"Gue juga kadang inget kalau malem jalan sama dia, dengerin seluruh keluh-kesahnya dia di tempat kerja. Setelah sekarang gak ada keluh-kesah dia gue denger, rasanya ada hal yang hilang dari hidup gue. "
"Seberapa besar sih presentase kita bisa ngelupain hal-hal yang terlampau sempurna buat dilupain kayak gitu?" Tanyanya lagi.
Gue menggeleng "ya nggak tau, kita bisa ngelupain orangnya dengan cepat, tapi gak ada jaminan buat bisa ngelupain kenangannya secepet mungkin. "
"Ada beberapa hal yang memaksa untuk di relakan, ada berjuta-juta janji yang belum terealisasikan, rasanya buat merelakan hal-hal kayak gitu jadi hal yang gak gampang. "
"Apa lagi pas inget kita pertama kali kenal dia, selalu ada rasa pengen ngelakuin hal itu lagi, segala hal-hal fiksi itu terlalu candu buat di harapkan. "
"Bener... gue jug"
Tiririririruttt
Suara sebuah ponsel berbunyi, mencegah Dodo menuntaskan kalimatnya. Ia lantas beralih meraih ponselnya yang berbunyi kemudian melihat layarnya, dan menyaksikan sebuah nama di layar ponselnya.
"Dia nelfon gue. " Terangnya.
Gue menaikan alis kiri, heran kenapa mantannya nelfon dia pas di kondisi-kondisi sekarang ini. "Angkat aja. " Ucap gue.
Diapun tanpa bertanya lebih lanjut, mengangkat telefon tersebut. Mengambil beberapa langkah menjauhi gue. Meninggalkan gue yang melamun memandang kearah jalanan di bawah kaki gue.
Gue masih memandang jalanan pantura yang ramai. Beberapa truck besar melewati bawah jembatan sehingga menggetarkan jembatan sejenak. Beberapa lainnya, sepeda motor yang lalu lalang menambah sendunya hari itu. Diantara jalanan yang masih menyisakan basah setelah di guyur hujan sore tadi, gue terbayang sekilas wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang beberapa tahun terakhir selalu hadir dalam hidup gue dan entah kenapa beberapa hari ini seolah wajah itu hilang dari peredaran.
Gue nggak inget berapa lama gue melamun di tempat itu, sampai tepukan di bahu gue dari si Dodo menyadarkan gue dari lamunan.
"Ngelamun aja lo, awas kesambet setan. "
"Ah elah, ngomong apaan dia? "
"Nggak ada. " Dia menggeleng "dia cuma mastiin gue baik-baik aja dan gue nggak memutuskan buat loncat dari jembatan ini. "
Gue tertawa kecil. "Bagus, mantan lo masih perduli ternyata. "
Gue beranjak dari tempat duduk gue, kemudian membersihkan celana yang sedikit kotor. "Lo haus nggak? " Tanya gue.
"Lumayan sih, mau beli minum dimana emangnya? "
"Biasa."
Dodo memasang wajah heran. "Yakin lo ke tempat biasa? Soalnya lo kan lagi... "
"Iya, iya paham. " Gue yang tahu maksud dari ujung kalimatnya segera memutuskan suasana herannya. "Soalnya tempat yang bersejarah buat kita itu cuma disitu, dan gue belum bisa nyari tempat baru. "
"Ya udah, terserah lo. " Jawabnya kemudian mengikuti gue meninggalkan tempat tersebut.
****
5 menit kemudian gue sampai di tempat biasa gue sama Dodo nongkrong, menghabiskan waktu dengan membicarakan hal-hal tidak jelas, sekedar menghibur diri dari hiruk pikuk nya dunia. Alasannya simple, karena dia (bukan si Dodo) emang kerja disini jadi gue udah biasa ke tempat ini.
Mata gue kemudian tanpa sengaja menangkap pemandangan sebuah motor metik kepunyaanya. Memang dia hari ini shift siang sampai malam, gue tau karena awal bulan lalu dia ngirimin gue jadwal shift dia. Tapi gue mencoba untuk mengendalikan suasana. Berharap kecanggungan tidak menjadi-jadi setelahnya.
"Kayaknya dia lagi di dalem deh ndo."
Gue mengangguk. "Iya, emang dia shift siang hari ini."
Sejurus kemudian kita berdua sudah ada di depan pintu, belum sempat gue menyentuh gagang pintu, Dodo sudah buru buru menarik bahu gue.
"Yakin lo mau kesini? Kalau lo gak suka, kita bisa nyari tempat lain. "
"Yakin." Kata gue berusaha meyakinkannya. "Urusan gue cuma sama dia, bukan sama tempat ini, tempat ini masih sama kalau lo masih ada disini, gue mungkin bisa ngelupain dia beberapa minggu lagi, tapi mungkin gue belum bisa ngelupain banyak hal di tempat ini sampai kapanpun."
"Yaudah deh, terserah lo. " Katanya singkat.
Gue pun menarik nafas panjang, dengan keteguhan hati, gue buka perlahan pintu itu. Sejenak kedua mata kami bertemu sejenak. Di sela-sela ia melayani pelanggan outletnya, dia nampak memalingkan wajahnya ke arah gue berdiri untuk sejenak. Tidak ada kata terlontar, gue yang mencoba mencairkan suasana langsung mengatur sikap dan berkata.
"Selamat datang tuan raja. " Seloroh gue berusaha mengalihkan perhatian dari sepasang mata itu.
"Terima kasih rakyatku. " Jawab Dodo kemudian melaju ke lorong tempat minuman berada.
"Ini nih, cocok buat yang lagi galau. " Kata gue meledek.
"Wah cocok buat elo dong? "
"Asemmm... " Kata gue setengah jengkel. Kemudian mengambil sebotol kopi dari chilleer. "Gue ini aja sih kayaknya, lo mau ngambil apa? "
"Gue ini nih. " Jawabnya, mengambil sebotol minuman jeruk lalu menggoyangkan nya di udara. "Biar seger. " Katanya lagi.
Kami berdua mengambil langkah ke meja kasir, mengantre di antrian paling belakang. Namun gue segera menyentuh pundak Dodo sebelum ada orang mengantri dibelakang. "Gue nitip ya, gue tunggu di depan. "
Dodo yang paham kode dari gue mengangguk, dan mempersilahkan gue meninggalkannya.
Beberapa menit kemudian, sebuah goyangan kecil dibahu gue, membuat gue berpaling ke arah Dodo dibelakang. "Thanks ya. "
"Iya." Jawabnya singkat.
"Eh btw gue balik dulu ya? Ada urusan. "
"Tiba-tiba amat sih? "
Gue mengangkat kedua bahu, memberi isyarat tidak tahu. "Maaf ya gak bisa lama lama, duitnya gue ganti besok. "
"Iya deh, percaya gue. "
"Nah gitu dong, itu baru temen gue. " Kata gue sambil menggoncangkan badannya secara pelan.
"Ati-ati." Serunya lagi, sambil memandangi gue yang mulai menjauh ke arah parkiran.
"Iya." Jawab gue lagi, kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Komentar
Posting Komentar