Senja mulai menyampuri panasnya kota Rembang di hari itu, sebuah kota yang memang terletak di pesisir utara pulau jawa. Dan di hari yang panas itu, gue baru saja tiba di salah satu parkiran caffe ternama di kota Rembang.
Tap tap tap...
Suara sepatu gue beradu dengan paving block parkiran 'ORSO' sebuah caffe yang terletak di salah satu sudut di kota Rembang, caffe ini memang baru di resmikan beberapa minggu lalu, jadi masih bisa dilihat, beberapa rangkaian bunga ucapan selamat masih bertebaran di halaman caffe ini. Untuk sejenak, gue tengok lagi motor gue, memastikan ia berdiri dengan benar serta tidak terlalu miring, dan setelah gue yakin, akhirnya, gue memantapkan diri untuk membuka pintu caffe, yang sudah berdecit saling menyambut pengunjung yang datang dan pergi.
"Mbak pesen cappuccinonya satu ya." Kata gue ramah kepada pelayan, yang masih berdiri anggun dibalik meja tempat pengunjung memesan.
Ia mengangguk pelan, "Iya mas, itu aja atau ada yang mau ditambahin lagi?" Tanyanya kembali.
Mata gue berpendar, memandang poster yang terbingkai indah tergantung diatas meja tempat ia bekerja.
"Sosis kejunya deh mbak, 1 udah itu aja." Kata gue memungkasi.
Tanpa babibu ia segera mengetik pesanan gue tadi kedalam pcnya. setelahnya, selembar kertas muncul dari printernya, lalu disambut dengan tangannya yang cekatan. "Totalnya 30.000 rupiah ya mas." Pungkasnya, sambil memberikan penjelasan berapa nominal yang harus gue bayar.
Gue menyodorkan sejumlah uang kepadanya, ia pun tersenyum kecil, tanda formalitas, kemudian kembali berujar "ditunggu ya mas pesanannya." Katanya menutup pembicaraan kami.
******
5 menit kemudian gue udah duduk rapi di salah satu meja, di sudut caffe tersebut, sejenak gue memandangi suasana sekeliling, berusaha mengusir kebosanan yang sedikit mulai menjalari. Suasana tenang mengiringi waktu yang berlalu di tempat itu, lampu lampu berpendar damai beserta alunan lagu yang mengudara, membuat suasana begitu memanjakan jiwa jiwa yang ingin sejenak menghirup udara ketenangan, dari hiruk pikuknya dunia.
"Ini pesanannya ya mas, cappuccino satu sama sosis kejunya satu." Ucap seorang mbak mbak waiters memberikan hidangan, yang udah gue pesan beberapa menit sebelumnya. Ia berlalu, meninggalkan gue sendiri menatap sekeliling dengan sedikit menahan rasa kesal.
"Ndo." Bunyi seseorang memanggil nama gue lembut, dan Dia adalah Dian, nama panjangnya Anjani Cahyawardani, biasa dipanggil Dian, memang gak nyambung tapi itulah kenyataannya. Dia temen SMA gue, kebetulan kita sekelas dari mulai kelas 11 sampe lulus, jadi bisa dibilang persahabatan kita udah berjalan 5 tahun lebih, sebuah ikatan persahabatan yang bisa dibilang terjalin sudah sangat lama.
Gue menoleh ke arah perempuan tersebut. "Dateng juga lo." Keluh gue."Gak biasa biasanya lo telat kayak gini ."
"Iya nih Rembang macet."
Gue mendengus mendengar jawabannya "sejak kapan Rembang jadi kayak jabodetabek? Alesan aja lu ah." Kata gue menyangkal, "jujur aja lo pasti belum prepare kan pas bilang otw ke gue tadi?"
Dia tersenyum. "Mau tau aja lo."
Dian pun menggelung ujung kemejanya, mencoba melihat waktu yang ditunjukan oleh arlojinya. "Udah lama lo disini?"
"Gak sih, paling dari jaman megalithikum gue disini."
"Lo ah, gue serius nih."
"Lah emang lo mau ngapain juga sampai ngajakin gue kesini, abis gajian lo?" Canda gue.
Dian mengubah gestur tubuhnya menjadi lebih condong ke arah gue, ia nampak mulai sedikit serius sekarang.
"Lo berantem lagi sama Rendi?", Tanya gue ketus setengah berbisik, dia memang sering curhat soal si Rendi pacarnya itu ke gue kalau mereka lagi berantem.
"Ih apaan sih." Ia sedikit kesal mendengar nama itu "Gue udah lama putus ya. Gak usah sebut sebut nama dia lagi di depan gue." Terangnya lagi.
Gue berdeham, "Lah terus lo mau ngomong soal apa?"
Dian menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya secara perlahan melalui kedua lubang hidungnya.
"Kenapa ya hidup bisa mengkotak kotakan kita kayak sekarang?"
"Kotak gimana? Apa lu merasa kita sedang menjadi spongebob sekarang?"
"Nggak, bukan gitu ndo tapi..."
Shtttttttt....!!!! Kata gue menghentikan celotehannya. "Pesen minum apa makan dulu kek, gak enak banget gue pesen elu enggak, kesannya kek gue manusia yang nggak punya empati banget."
Dian menghela nafas panjang "Iya iya ah, repot."
Dian pun mengangkat tangan kanannya ke udara, sebuah isyarat itu mengundang seorang wanita berpakaian waiters, datang menghampiri meja kami.
"Hot Americano sama roti panggangnya satu ya mbak."
Si waiters mengangguk, ia pun dengan segera melangkah menjauhi meja kami berdua, meninggalkan kami dari ramainya suasana caffe di sore itu. "Gue nggak nyangka deh persahabatan kita bisa jadi kayak gini." Kata Dian menyambung percakapannya lagi.
"Kayak gini gimana?" Kata gue heran, masih belum paham arah pembicaraan Dian akan terbawa kemana. emang aroma kopi yang menyengat di sore hari rawan bikin otak gue lola.
"Iya, lo tau kan kita dulu itu ber 9, nah kok bisa ya kita yang dulu apa apa ber sembilan, dihukum guru bareng, jajan dikantin bareng, gak ngerjain pr bareng bisa jadi kek orang asing gini sekarang?"
Gue menenggak cappuccino gue. "Ya namanya juga hidup, udah pada sibuk sama hidupnya masing masing sih." Ucap gue santai. "Hidup bikin beberapa moment yang mengubah perilaku kita, contohnya kalau dulu kita orang yang nggak tahan tekanan, karena bertambahnya waktu, bertambahnya jam terbang dari tempaan tempat kita kerja bikin kita jadi orang yang lebih kompetitif dan lain lain. Termasuk juga soal hubungan pertemanan, sekarang hubungan pertemanan kan nggak sesimple jaman kita sd, ada aja yang bisa bikin kita renggang walaupun itu cuma karena masalah sepele."
"Dan makin lama lo hidup, makin males ketemu orang baru gak sih?" Tanya Dian menimpali.
"Persis!" Kata gue lagi. "Gue sekarang males banget ketemu sama orang baru, kek ngebatin kalau gue harus adaptasi lagi gitu, seolah hal yang udah bikin kita nyaman bertahun tahun lalu, harus berantakan karena kedatangan segelintir orang baru."
"Btw kok tumbenan ni cappuccino rasanya pait deh." Kata gue lagi, membuat Dian menaikan alisnya, melihat isi cangkir kopi gue.
Suasana hening seketika. hanya terisi oleh suara riuh pengunjung yang berlalu lalang dan musik yang masih bermain indah, menelisik dari dalam kotak pengeras suara yang tergantung di sudut sudut ruangan. Di keheningan itu mata gue dan Dian bertemu dalam kecanggungan setelah gue tahu ada yang salah dengan kopi gue.
"Gula cairnya masukin dulu bego." Dian menggerutu dan gue sambut dengan tawa terkekeh setengah malu.
Setelah menuangkan beberapa mili gula cair ke kopi gue, gue menyeruputnya sedikit, memastikan cairan bening itu benar benar gula cair dan bukanlah air kobokan yang sudah di ekstraksi.
Hujan mulai turun membasahi Kota Rembang tanpa gue sadari, rintik air hujan beradu dengan suara damai yang mengisi ruangan Caffe.
"Lo ada masalah sama anak anak?" Tanya gue lagi.
"Gak." Dian menggeleng.
"Boong lo."
"Tau dari mana gue boong?" Dian bertanya balik.
"Itu tahilalat lu keringetan." Jawab gue.
Mendengar jawaban gue, Muncul raut wajah kesal dari Dian. Gue yang takut dia bakal marah segera melontarkan pertanyaan untuk mencairkan suasana.
"Jujur aja, lo pasti boong."
Dian menarik nafas panjang, tangannya yang tersilang di depan dadanya ia turunkan ke meja, bersamaan dengan datangnya pesanan dia tadi.
"Gue abis berantem sama si Franda."
"Masalah cowok?"
"Enggaaakkkk..." Dian mengelak. "Jadi ceritanya tuh, dia kemaren ultah dan gue nggak dateng ke acara dia, soalnya gue sibuk di kerjaan, kata dia gue lebih milih mrioritasin kerjaan gue daripada pertemanan gue sama dia."
"Dih gitu doang marahan?" Tanya Gue keheranan. "Lagian apaan sih anjir artinya ultah, tambah umur tambah beban tanggung jawab, yang mau di rayain tuh apaan ege, wong dodo sama aris yang gue anggep abang abang gue sendiri aja gue gak tau tanggal lahir mereka, gak marah juga mereka tuh."
"Beda orang beda tanggepan Andooo.... Lagian dulu gue juga ngambil cuti kerja kan juga buat dia. Kok dia nggak mau ngertiin itu."
"Sudahlah nak." Seloroh gue sembari mengelus pundak Dian. "ketahuilah dan sadarilah bahwa kalian sudah beda sirkel."
Dian masih diam tak menjawab.
"Kayaknya makin gede, kita jadi makin paham kalau perpisahan sama pertemuan adalah hal yang nggak terelakan. Ya walaupun lo berusaha ngejaga suatu hubungan sosial sama siapapun, temen atau bahkan pacar, kalau tuhan ngehendakin pisah ya kita bisa apa?" Kata gue.
Gue kembali meneguk kopi gue. "Kopi lo tuh, keburu dingin entar."
Dian pun menenggak beberapa mili kopi pesanannya.
"Makin gede makin sering ngerasa kesepian, iya gak sih?"
Glekkkk....
Gue menelan ludah gue. "Gue kira cuma gue yang ngerasa gituan."
"Iya, gue tu kalau di kerjaan orangnya periang, ketawa ketiwi mulu, nah kalau udah sampe kamar kost, gue kunci tuh pintu dan gue matiin lampu kamar gue, gue sering ngerasa sesuatu hilang dari diri gue, dan gue kangen ngerasain hal yang hilang itu bareng orang orang lama di kehidupan gue, sesuatu yang entah apa itu."
"Jangan bilang lo nangis?" Tanya gue lagi.
"Kadang, kalau kebawa suasana."
"Pasti makeup lu luntur gak karu karuan saat itu juga."
"Sempet sempetnya lu bahas make up luntur di moment kek gini."
Kepala gue kembali berputar melihat seisi ruangan, mencoba mengamati keadaan caffe yang tengah terjadi sekarang. Meja meja mulai tak seramai tadi setelah waktu menunjukan jam 6 sore.
"Hal kayak gitu jadi dilema, di satu sisi kita gak begitu saja nerima kehadiran orang baru, selalu ada resiko yang harus di tanggung kalau kenal sama orang baru. Sedangkan di sisi lain, mengharapkan orang lama, keadaan yang memisahkan dan perbedaan sikap karena lingkungan yang tak lagi sama, bikin kita malah merasa asing dengan mereka. Jadilah kita paham bahwa kita hanya sendirian sekarang."
"Bener." Ucap Dian sambil menenggak kopinya. "Gue jadi kadang iri, sama orang orang yang masih bisa nyempetin waktu buat ketemu, ngobrol bareng, foto bareng dan lain lain, hal yang nggak bisa gue lakuin sekarang, dari persahabatan yang dulu kita janjiin kekal sepanjang masa."
"Ya maklum, dulu kan kita naif banget, nggak tau kalau dunia bakal serepot ini."
"Lagian kalian berdua dulu sahabatan awalnya lucu banget anjir." Kata gue sembari setengah tertawa, mengenang masa masa putih putih abu abu dulu.
"Lucu gimana?"
"Iya lucu, masa kalian dulu deket gara gara Franda keluar dari geng lama dia, mana sehari sebelumnya geng dia minta digambarin sama si Albab, karikatur geng mereka, eh besoknya berantem gegara si Franda dituduh ganjen sama pacar member lain di gengnya."
Dian tertawa renyah, mengenang peristiwa absurd itu. "Iya sih, abis itu gue jadi deket sama si Franda, soalnya gue kan deketan sama kalian duluan, cowok cowok baru ketambahan si Franda member cewek baru."
"Lu kenapa mau temenan sama dia?" Tanya gue lagi.
Suasana tiba tiba menjadi hening, setelah pertanyaan gue tadi terlontar, tiba tiba saja waktu seperti melambat.
"Dia sederhana, nggak kebanyakan ngomong dibelakang kayak temen temen gue dulu." Jawab Dian dengan sedikit ragu.
"Apa bedanya dia sama temen temenlu sekarang?"
"Nggak tahu." Dian menggeleng tak mengerti, membiarkan pertanyaan gue tadi menguap di udara. "Gue gak bilang orang orang di lingkungan gue sekarang sebagai orang yang nggak baik, tapi entah kenapa gue ngerasa kita cuma individu, yang dipaksa akrab karena tuntutan profesi."
"Oh gue ngerti." Gue ngangguk. "Gue juga ngerasain hal yang sama, orang orang di sekitar gue juga orang baik, tapi entah kenapa gue nggak ngerasa, punya getaran yang sama dengan persahabatan kita dulu. Gue bahkan kemaren abis keluar bareng temen gue, di tengah jalan dia telfon temen temen smp mereka, dan janjian ngadain acara, dan lo tau? Semua kompak setuju. Apa gue nggak iri coba?Kita bukber aja butuh perencanaan beberapa hari sebelumnya, giliran pas hari h, yang dateng cuma 5 nyawa doang."
Dian mendengus sembari melihat gue yang tengah sibuk nyemilin sosis pesanan gue tadi.
"Dewasa rasanya kek gitu ya? Ngerasa kangen sama sesuatu tapi kita nggak tau apa itu?"
"Mungkin." Gue mengangguk."Dewasa mungkin lebih ke definisi dimana kita berkubang di lautan perasaan yang nggak kita kenali, dan masalah masalah yang turut membuat pening tiap hari, lalu sialnya kita di paksa untuk berdamai dengan hal hal menyebalkan itu."
I miss you more than life......
Tiba tiba suara Justin Bieber terdengar, mengisi pengeras suara yang tergantung di ruangan itu. Terus terang saja, lagu itu membuat suasana semakin mendung di meja kami. Gue yang masih mencoba menyingkirkan perasaan sedih gue, menengok ke jendela luar, melihat seorang ibu dan anak tengah bersiap menyeberang jalan di iringi guyuran hujan yang mulai sedikit mereda.
"Lo bakal nyangka pertemanan kita bakal kayak gini?"
"Nggak." Gue menggeleng, "Gue juga naif, pernah berpikir kalau pertemanan kita bakal abadi. Gue kadang merasa jadi pihak yang paling kehilangan sampai detik ini, terus merengek pengen bisa balik sama kalian, tapi lama lama gue bosen juga."
"Sama, gue dulu juga sering ngeluangin waktu buat dia." Katanya lusuh. "Gak nyangka kalau persahabatan kita bakal menyentuh level sehambar ini."
Tak tak tak
Suara jari tangan gue beradu dengan meja caffe tersebut.
"Gimana ya? Cara supaya kita bisa menerima orang baru di kehidupan kita, biar kita nggak kesepian kesepian banget."
Dian mengangkat bahunya, melempar gestur tentang ketidak tahuannya atas jawaban dari pertanyaan gue.
"Nggak cuma orang di dunia nyata sih, di dunia maya juga sama, kebetulan gue itu dulu main facebook jaman 2014an, jaman masih pada sibuk tukeran pin bb."
"Oh iya, pasti nama facebook lu namanya 'Dian Sy cEWex Pesex'" Canda gue.
"Heh gak ya, gue dulu alaynya gak gitu dulu."
"Kek gimana terusan? Bikin status Akoh cyang Kamoehh. Gitu?"
Dian tertawa ngakak. "Bisa aja lo. Eh tapi serius deh, dulu gue itu temen facebook gue banyak banget."
"Sama sih, dulu gue juga sering gabung kek obrolan grup chat di mesenger ato Fb, kebanyakan juga hilang dimakan waktu."
"Gak ada yang nyisa sama sekali?" Tanya Dian.
Gue menggeleng. "Udah pada sibuk, paling ada itupun cuma sebulan sekali yang ngechat, banter banter paling cuma nawarin pinjaman modal."
Dian kembali tertawa. "Ngenes banget emang, apalagi sekarang kebanyakan ributnya daripada saling bercandanya."
"Iya ih." Ucap gue sedikit gemas. "Susah banget buat nyari temen yang asik, rata rata pada pengen dipuja, jadi suka sotoy duluan, akhirnya cuma jadi ajang debat."
"Sahabat gue di dumay juga sekarang udah asing banget. kadang ngechat kalau ada butuh banget doang, ya walaupun gue juga sama sih." Kata gue lagi.
"Iyes, udah pada sibuk sama dunianya sendiri, yang kerja sibuk kerja sampe lupa waktu, yang kuliah sibuk nugas sampe kadang setres pas sampe tahap skripsi." Timpal Dian.
Trrriinngggg.....
Tiba tiba handphone Dian berdering keras, mengangetkan kita berdua yang sedari tadi memasang wajah serius. Dian buru buru mengambil handphonenya dan menempelkannya ke telinga kirinya. Ia bergumam beberapa saat, lalu segera menutup telfonya.
"Gue balik dulu ya, gue udah ditunggu orang." Kata Dian secara tiba tiba sembari merapikan tasnya.
"Buru buru amat." Ucap gue sembari memandangi dia dengan perasaan heran.
"Ada urusan mendadak." Jawab Dian, ia lalu beranjak menjauhi meja kami berdua, sampai kakinya tiba di depan pintu caffe, ia tiba tiba menghentikan langkahnya. "Bill gue bayar lo dulu ya, entar gue ganti kalau ketemu lagi."
Gue berdiri secara spontan mendenger perkataanya. Dan dengan sesopan mungkin gue berkata "Gue belum gaj..." belum lengkap gue mengatakannya, Langkah kakinya meninggalkan pintu Caffe mematahkan kalimat gue. Sejenak, gue pandangi dirinya yang melangkah keluar ke jalan depan caffe, disana terparkir sebuah mobil dengan seorang pria berdiri, seperti menunggu kehadiran Dian. Dan ditengah guyuran gerimis di malam itu, air hujan perlahan mengiringi kepergian Dian dengan pria itu, bersamaan dengan angin di bulan desember yang dingin, menghapus jejak Dian dari Caffe dan meja itu, meninggalkan gue dengan sedikit menarik nafas panjang dan bergumam.
"Seadainya saja, sulit menerima orang baru itu termasuk untuk urusan percintaan."
Mantap🤗
BalasHapus